Friday, October 7, 2011


     Sumber Foto : occupywallst.org

Occupy Wall Street (OWS) secara pelan tapi pasti terus tumbuh menjadi gerakan massa yang mungkin menjadi titik balik Amerika, American turning point. Anak muda, serikat pekerja, seniman dan ibu rumah tangga serta berbagai elemen rakyat lainnya terus mengorganisir diri dalam rally yang terus menerus, art performing dan berbagai bentuk online movements. Menarik rasanya untuk mencoba merekah-rekah apa dan bagaimana sebenarnya yang terjadi di negeri “kuasa citra” ini.

Bermula dari rally dan general assembly di Liberty Plaza Park atau yang belakangan dikenal sebagai Zuccoti Park di New York pada 17 September lalu gerakan bertajuk “Duduki Wall Street” ini bermula. Gerakan ini pertanggal 6 Oktober lalu telah tumbuh dengan cepat, menyebar ke hampir 15 kota-kota besar di Amerika Serikat.

Gerakan yang cenderung sangat cair ini menimbulkan pertanyaan mendasar, seperti yang diungkap Shamus Cooke, seorang relawan social yang juga penulis isu-isu buruh Are the Wall Street protests and their nationwide copycats an explosion or just a flare up? Akankah aksi ini meledak, memberikan impacts yang kuat atau hanya gejolak yang beriak saja ? Tentu taklah mudah memastikan kemana gerakan ini akan berujung. Seberapa besar dampaknya ? Waktu akan menjawab.

Di sisi lain, sinisme akan gerakan ini juga tercermin dari opini yang berkembang bawah aksi ini tak lebih dari instrument politik guna melemahkan posisi Barrack Obama jelang pemilihan presiden Amerika mendatang. Apalagi bagi banyak kalangan Wall Street adalah sahabat dekatnya Partai Demokrat.

Bagi Kelompok yang menginginkan perubahan besar dalam tata global terutama menyangkut keberadaan korporasi trans nasional terus memompakan optimisme bahwa gerakan ini cepat atau lambat akan segera mendunia dan menjadi titik balik bagi sebuah usaha menghadirkan dunia yang lebih adil dan bersahaja.

Kerakusan korporasi, kondisi social ekonomi yang jauh dari rasa keadilan, pengaruh korporasi yang sangat besar atas berbagai kebijakan Negara, ketakberdayaan Negara terhadap korporasi serta kebusukan-kebusukan korporasi terkait hak azasi manusia dan penghilangan hak-hak individu menjadi topik utama OWS ini. Korporasi baik nasional maupun trans nasional telah mengentitas menjadi common enemies bagi gerakan ini.

Isu globalsiasi dan brutalitas korporasi tentunya bukanlah isu baru, sejak awal 90an kritik atas rapuhnya globalisasi dan brutalitas korporasi bermunculan seiring terkuaknya kebusukan demi kebusukan korporasi. Aktivis anti globalisasi dan juga anti kebusukan korporasi bermunculan di banyak sudut bumi. Sebut saja Sarah Lucas, Rachel Menezes di Amerika Latin, Priya Reddy atau dikenal juga dengan Warcry, Judi Barry di Amerika Serikat, Kishore Mahbubani dan ratusan aktivis dan penulis  anti brutalitas korporasi yang berjalan beriring dengan globalisasi.

Serpihan-serpihan perlawanan dari berbagai penjuru bumi yang telah disemai oleh banyak aktivis dan penulis akankah menemukan momentumnya melalui occupy wall street ini ? tentu banyak hal yang harus dilihat. Tapi paling tidak apa yang terjadi di Amerika dalam konteks OWS, bahwa gerakan ini berbeda dari kelaziman, mengapa ?

    Sumber foto : www.ibtimes.com

OWS Gerakan “Berbeda”

Paling tidak ada empat hal yang mendiferensiasi aksi OWS dengan aksi-aksi serupa sebelumnya. Sebut saja parade aksi di Davos, Swiss saat berlangsung World Economic Forum, lalu “Beattle Seattle” tahun  1999 saat berlangung pertemuan tingkat emnteri WTO, aksi yang melegenda. Selanjutnya World Social Forum di Porto Allegre, Brazil sebagai simbol perlawanan atas World Economic Forum di New York, sebut juga Carnival Againts Capitalism di London, Eugene dan juga Koln pada tahun 1999, masih banyak lagi aksi dan gerakan yang berakar dari kritik atas tata dunia yang tidak adil dan kejahatan globalisasi korporasi dan kebusukan-kebusukan lain korporasi. Lalu apa yang membuat OWS agak berbeda ?

Pertama, gerakan yang bermula dari area seputaran Wall Street ini memberi semacam kesan ini adalah gerakan yang langsung menusuk pada jantung “kebusukan” korporasi. Bukankah Wall Street telah menjadi ikon bagi propaganda keberhasilan globalisasi dan kapitalisme global membangun dinasti kesejahteraan di seluruh dunia. Bahkan Al-Qaidahpun menyasar Wall Trade centre sebagai lambang perlawanan di jantung “musuh”. Tentu saja OWS dan Al Qaidah berbeda, tapi paling tidak strategi berperang di jantung “musuh” ini memberi dampak psikologis bagi gerakan. Bukankah momentum bisa hadir dari tempat yang tepat dimana gesekan dihadirkan ? Lokasi aksi telah memberi semacam political and social advantages bagi gerakan.

Berbeda dengan aksi-aksi hampir serupa seperti saya sebut di atas, hampir semua aksi berbasis pada momen bukan pada tempat. Seatle, London, Davos, Eugene dan sebagainya itu tak sepopuler dan sehebat Wall Street sebagai ikon “keberhasilan” globalisasi dan korporasi. Satu hal lagi OWS tidak berbasis event, sedangkan aksi sebelumnya cenderung sebagai reaksi atas kegiatan tertentu yang dilakukan oleh “musuh”.

Kondisi inilah yang nampaknya membuat aksi berjalan begitu santai dan terkesan tidak terburu, paling tidak itulah gambaran dari livestreaming yang dihadirkan secara independen oleh OWS. Kondisi ini menjadi kekuatan bagi gerakan ini, enjoy protest. Meski banyak yang mempertanyakan basis ideologi dari perlawan ini, tapi bagi saya tak penting membahas itu. Perlawanan yang didasarkan atas kondisi sehari-hari yang mereka hadaapi justru menjadi energi yang lebih besar dari ideologi. Rasa lapar, ketakutan kehilangan tempat berteduh, kehilangan pekerjaan, harga yang terus melonjak akan menjadi amunisi yang luar biasa bagi setiap occupier (sebutan bagi peserta OWS).

Berlanjut ke PART II...

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts