Sumber Foto : occupywallst.org
Occupy Wall Street (OWS) secara pelan
tapi pasti terus tumbuh menjadi gerakan massa yang mungkin menjadi titik balik
Amerika, American turning point. Anak
muda, serikat pekerja, seniman dan ibu rumah tangga serta berbagai elemen
rakyat lainnya terus mengorganisir diri dalam rally yang terus menerus, art performing dan berbagai bentuk online movements. Menarik rasanya untuk
mencoba merekah-rekah apa dan bagaimana sebenarnya yang terjadi di negeri “kuasa citra” ini.
Bermula dari rally dan general assembly di Liberty
Plaza Park atau yang belakangan dikenal sebagai Zuccoti Park di New York
pada 17 September lalu gerakan bertajuk “Duduki Wall Street” ini bermula. Gerakan
ini pertanggal 6 Oktober lalu telah tumbuh dengan cepat, menyebar ke hampir 15
kota-kota besar di Amerika Serikat.
Gerakan yang
cenderung sangat cair ini menimbulkan pertanyaan mendasar, seperti yang
diungkap Shamus Cooke, seorang relawan social yang juga penulis isu-isu buruh “Are the Wall Street protests and their nationwide copycats
an explosion or just a flare up?” Akankah aksi ini
meledak, memberikan impacts yang kuat
atau hanya gejolak yang beriak saja ? Tentu taklah mudah memastikan kemana
gerakan ini akan berujung. Seberapa besar dampaknya ? Waktu akan menjawab.
Di sisi lain, sinisme akan gerakan ini
juga tercermin dari opini yang berkembang bawah aksi ini tak lebih dari instrument
politik guna melemahkan posisi Barrack Obama jelang pemilihan presiden Amerika
mendatang. Apalagi bagi banyak kalangan Wall Street adalah sahabat dekatnya
Partai Demokrat.
Bagi Kelompok yang menginginkan
perubahan besar dalam tata global terutama menyangkut keberadaan korporasi
trans nasional terus memompakan optimisme bahwa gerakan ini cepat atau lambat
akan segera mendunia dan menjadi titik balik bagi sebuah usaha menghadirkan dunia
yang lebih adil dan bersahaja.
Kerakusan korporasi, kondisi social ekonomi
yang jauh dari rasa keadilan, pengaruh korporasi yang sangat besar atas
berbagai kebijakan Negara, ketakberdayaan Negara terhadap korporasi serta
kebusukan-kebusukan korporasi terkait hak azasi manusia dan penghilangan
hak-hak individu menjadi topik utama OWS ini. Korporasi baik nasional maupun
trans nasional telah mengentitas menjadi common
enemies bagi gerakan ini.
Isu globalsiasi dan brutalitas korporasi
tentunya bukanlah isu baru, sejak awal 90an kritik atas rapuhnya globalisasi
dan brutalitas korporasi bermunculan seiring terkuaknya kebusukan demi
kebusukan korporasi. Aktivis anti globalisasi dan juga anti kebusukan korporasi
bermunculan di banyak sudut bumi. Sebut saja Sarah Lucas, Rachel Menezes di
Amerika Latin, Priya Reddy atau dikenal juga dengan Warcry, Judi Barry di
Amerika Serikat, Kishore Mahbubani dan ratusan
aktivis dan penulis anti brutalitas
korporasi yang berjalan beriring dengan globalisasi.
Serpihan-serpihan perlawanan dari
berbagai penjuru bumi yang telah disemai oleh banyak aktivis dan penulis
akankah menemukan momentumnya melalui occupy wall street ini ? tentu banyak hal
yang harus dilihat. Tapi paling tidak apa yang terjadi di Amerika dalam konteks
OWS, bahwa gerakan ini berbeda dari kelaziman, mengapa ?
Sumber foto : www.ibtimes.com
OWS Gerakan
“Berbeda”
Paling tidak ada empat hal yang
mendiferensiasi aksi OWS dengan aksi-aksi serupa sebelumnya. Sebut saja parade
aksi di Davos, Swiss saat berlangsung World
Economic Forum, lalu “Beattle Seattle”
tahun 1999 saat berlangung pertemuan
tingkat emnteri WTO, aksi yang melegenda. Selanjutnya World Social Forum di
Porto Allegre, Brazil sebagai simbol perlawanan atas World Economic Forum di
New York, sebut juga Carnival Againts Capitalism di London, Eugene dan juga
Koln pada tahun 1999, masih banyak lagi aksi dan gerakan yang berakar dari
kritik atas tata dunia yang tidak adil dan kejahatan globalisasi korporasi dan
kebusukan-kebusukan lain korporasi. Lalu apa yang membuat OWS agak berbeda ?
Pertama, gerakan yang bermula dari area seputaran Wall Street ini memberi semacam
kesan ini adalah gerakan yang langsung menusuk pada jantung “kebusukan”
korporasi. Bukankah Wall Street telah menjadi ikon bagi propaganda keberhasilan
globalisasi dan kapitalisme global membangun dinasti kesejahteraan di seluruh
dunia. Bahkan Al-Qaidahpun menyasar Wall Trade centre sebagai lambang perlawanan di jantung “musuh”. Tentu saja
OWS dan Al Qaidah berbeda, tapi paling tidak strategi berperang di jantung “musuh”
ini memberi dampak psikologis bagi gerakan. Bukankah momentum bisa hadir dari
tempat yang tepat dimana gesekan dihadirkan ? Lokasi aksi telah memberi semacam
political and social advantages bagi
gerakan.
Berbeda dengan aksi-aksi hampir
serupa seperti saya sebut di atas, hampir semua aksi berbasis pada momen bukan
pada tempat. Seatle, London, Davos, Eugene dan sebagainya itu tak sepopuler dan
sehebat Wall Street sebagai ikon “keberhasilan” globalisasi dan korporasi. Satu
hal lagi OWS tidak berbasis event,
sedangkan aksi sebelumnya cenderung sebagai reaksi atas kegiatan tertentu yang
dilakukan oleh “musuh”.
Kondisi inilah yang nampaknya
membuat aksi berjalan begitu santai dan terkesan tidak terburu, paling tidak
itulah gambaran dari livestreaming yang dihadirkan secara independen oleh OWS.
Kondisi ini menjadi kekuatan bagi gerakan ini, enjoy protest. Meski banyak yang mempertanyakan basis ideologi dari
perlawan ini, tapi bagi saya tak penting membahas itu. Perlawanan yang
didasarkan atas kondisi sehari-hari yang mereka hadaapi justru menjadi energi
yang lebih besar dari ideologi. Rasa lapar, ketakutan kehilangan tempat
berteduh, kehilangan pekerjaan, harga yang terus melonjak akan menjadi amunisi
yang luar biasa bagi setiap occupier
(sebutan bagi peserta OWS).
Berlanjut ke PART II...
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.