“Bukan dengan bicara, tetapi dengan
mendengarkan kita bisa banyak belajar.”
– Larry King –
Kalimat istimewa dari Larry
King di atas menampar kesadaranku. Sudah terlalu banyak kata-kata yang tersusun
dalam kalimat hadir dari mulutku. Hampir semuanya bisa jadi sampah semata.
Gambaran tentang aku, bisa jadi proyeksi umum manusia-manusia Indonesia hari
ini. Kita lebih suka bicara tinimbang mendengar. Menuntut didengarkan tapi alfa
mendengarkan.
Saat bicara cenderung ada
ekstase; perasaan penting, pintar dan bahkan superior kerap muncul, perasaan
yang hadir begitu saja. Perasaan itulah yang bisa jadi picu seseorang terus
bicara. Penilaian terhadap diri sendiri kerapkali meleset saat kita tengah
bicara. Sehingga kita tak mampu melakukan penilaian yang akurat terhadap bobot
(baca : kulitas) pembicaraan kita.
Satu hal yang tak kalah
penting, ketika kita bicara maka kita membuang kesempatan untuk mendengar.
Karena hampir dipastikan tak banyak manusia yang bisa mendengar manakala bicara.
Kalaupun bisa, fokusnya tentu sangat lemah. Saat memilih untuk tak mendengar
maka kita kehilangan kesempatan belajar.
Pada suatu ketika mungkin
terbersit, “ngapain denger omongan gak
mutu,” bisa jadi pembicaraan
seseorang tak bermutu, tapi bukan berarti kesempatan kita belajar berkurang.
Kita bisa belajar dari yang tak bermutu itu, paling tidak untuk tak melakukan
hal yang sama. Kalau mau lebih analitis kita bisa belajar mengenai karakter
orang yang bicara tidak mutu tersebut. Atau mengurai mengapa pembicaraannya
menjadi tak bermutu. Itulah kelebihan orang yang memilih mendengar.
Bisa jadi orang akan
memosisikan orang yang lebih banyak mendengar sebagai inferior, karena dirinya
jadi tak banyak terlihat. Tapi percayalah, justru orang yang memilih tak bicara
dan lebih suka mendengar memiliki kekayaan informasi yang lebih kuat. Serta
kesempatan menganalisa yang lebih dalam tinimbang mereka yang bicara banyak.
Tapi perlu dicatat bahwa
orang yang diam belum tentu semuanya mendengar. Ada orang yang diam karena tak
peduli, ada yang diam karena muak, ada yang diam karena memang tak mampu
bicara. Mendengar tak selalu sama dengan diam. Tapi orang yang diam lebih punya
kesempatan mendengar.
***
Menjadi pendengar tentu
bukan perkara mudah. Pendengar yang baik menurutku adalah orang yang sudah
paripurna dengan ego keakuaanya. Mengapa ? karena mendengar membutuhkan
kerendahan hati, ketulusan dan kesabaran. Bagi yang masih berjibaku dengan ego
keakuannya, tiga hal di atas seperti melebur batu karang dengan tetes air, butuh
waktu yang panjang.
Hampir semua manusia ingin
didengarkan, tapi sedikit sekali yang memilih menjadi pendengar. Maka sungguh
sebuah kebahagiaan ketika ada orang yang mau mendengarkan, di saat yang lain
memilih bicara.
Ah, betapa sudah lamanya
aku tersesat. Saatnya memutar sauh, menantang angin. Mengubah arah perahu. Semula
banyak bicara kini menjadi pendengar yang hanya bicara sesekali saja. Karena
mendengar berarti belajar, begitu kata Larry King.
Renungan pagi,
Srl, 260214. 04:00
Renungan pagi,
Srl, 260214. 04:00
Sumber foto ilustrasi : brainrider.com
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.