Wednesday, February 26, 2014



“Bukan dengan bicara, tetapi dengan mendengarkan kita bisa banyak belajar.”
– Larry King –

Kalimat istimewa dari Larry King di atas menampar kesadaranku. Sudah terlalu banyak kata-kata yang tersusun dalam kalimat hadir dari mulutku. Hampir semuanya bisa jadi sampah semata. Gambaran tentang aku, bisa jadi proyeksi umum manusia-manusia Indonesia hari ini. Kita lebih suka bicara tinimbang mendengar. Menuntut didengarkan tapi alfa mendengarkan.

Saat bicara cenderung ada ekstase; perasaan penting, pintar dan bahkan superior kerap muncul, perasaan yang hadir begitu saja. Perasaan itulah yang bisa jadi picu seseorang terus bicara. Penilaian terhadap diri sendiri kerapkali meleset saat kita tengah bicara. Sehingga kita tak mampu melakukan penilaian yang akurat terhadap bobot (baca : kulitas) pembicaraan kita.

Satu hal yang tak kalah penting, ketika kita bicara maka kita membuang kesempatan untuk mendengar. Karena hampir dipastikan tak banyak manusia yang bisa mendengar manakala bicara. Kalaupun bisa, fokusnya tentu sangat lemah. Saat memilih untuk tak mendengar maka kita kehilangan kesempatan belajar.

Pada suatu ketika mungkin terbersit, “ngapain denger omongan gak mutu,”  bisa jadi pembicaraan seseorang tak bermutu, tapi bukan berarti kesempatan kita belajar berkurang. Kita bisa belajar dari yang tak bermutu itu, paling tidak untuk tak melakukan hal yang sama. Kalau mau lebih analitis kita bisa belajar mengenai karakter orang yang bicara tidak mutu tersebut. Atau mengurai mengapa pembicaraannya menjadi tak bermutu. Itulah kelebihan orang yang memilih mendengar.

Bisa jadi orang akan memosisikan orang yang lebih banyak mendengar sebagai inferior, karena dirinya jadi tak banyak terlihat. Tapi percayalah, justru orang yang memilih tak bicara dan lebih suka mendengar memiliki kekayaan informasi yang lebih kuat. Serta kesempatan menganalisa yang lebih dalam tinimbang mereka yang bicara banyak.

Tapi perlu dicatat bahwa orang yang diam belum tentu semuanya mendengar. Ada orang yang diam karena tak peduli, ada yang diam karena muak, ada yang diam karena memang tak mampu bicara. Mendengar tak selalu sama dengan diam. Tapi orang yang diam lebih punya kesempatan mendengar.
***
Menjadi pendengar tentu bukan perkara mudah. Pendengar yang baik menurutku adalah orang yang sudah paripurna dengan ego keakuaanya. Mengapa ? karena mendengar membutuhkan kerendahan hati, ketulusan dan kesabaran. Bagi yang masih berjibaku dengan ego keakuannya, tiga hal di atas seperti melebur batu karang dengan tetes air, butuh waktu yang panjang.

Hampir semua manusia ingin didengarkan, tapi sedikit sekali yang memilih menjadi pendengar. Maka sungguh sebuah kebahagiaan ketika ada orang yang mau mendengarkan, di saat yang lain memilih bicara.


Ah, betapa sudah lamanya aku tersesat. Saatnya memutar sauh, menantang angin. Mengubah arah perahu. Semula banyak bicara kini menjadi pendengar yang hanya bicara sesekali saja. Karena mendengar berarti belajar, begitu kata Larry King. 

Renungan pagi,

Srl, 260214. 04:00


Sumber foto ilustrasi : brainrider.com

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts