Bukit-bukit bercadas tampak sekeliling, tumbuhan
berduri menjalari tanah-tanah gersang . Entah sudah berapa mil jauhnya dari
rumah, di Kiva, Kenya aku singgah. Sebuah perjalanan panjang, yang bahkan dalam
mimpi pun tak terbersit untuk sampai di sudut bumi ini. Ya, begitulah hidup, ada
kejutan dalam tiap fasenya.
Aku duduk di sebuah gundukan tanah, tak jauh dari
pasar tradisional. Buah, kerajinan tangan dan bahan pokok terjaja di kios-kios
kayu, bentuknya lebih mirip pondok kayu tinimbang kios. Tiap ada mobil singgah,
pedagang akan berlari menjajakkan sesuatu. Suasana begitu hiruk pikuk,
untunglah banyak dia antara penduduk lokal berbahasa Inggris dengan sangat baik
hingga aku bisa mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.Bahasa inggris
merupakan bahasa resmi kedua setelah swahili. Tak heran anak-anak kecil pun
fasih berbahasa Inggris dengan aksen british
yang kental.
Dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan
mengamatiku dari kejauhan. Kucoba menyapa mereka lewat senyum kecil yang
kulempar pada mereka. Mereka mendakat, tak
butuh waktu lama untuk kami akrab. Kamera yang kubawa menjadi media yang
mengakrabkan. Kuajarkan cara membidikkan kamera dan mengambil gambar, lantas
mereka mengambil gambar. Tak hanya itu, kami belajar bersama, ah anak-anak
memang selalu menyenangkan. Bahkan di sebuah negeri yang kerap dilanda konflik
dan kekurangan pangan ini pun anak-anak tetap membahagiakan.
Aku menatap pancaran mata yang luar biasa dari
mereka, ada energi harapan yang sulit dijelaskan. Di sebuah negeri yang masih
berjibaku dalam kemiskinan dan ketakadilan serta eksploitasi korporasi macam di
Kenya, anak-anak seperti inilah yang bisa jadi harapan. Masa depan Kenya ada
pada mereka.
Pasar masih gaduh, tiga anak-anak itu bercerita
tentang keseharian mereka. Tiba-tiba rindu meluncur di hatiku, seperti butiran
embun yang menyesap, menyejukkan. Berbanding terbalik dengan sengatan matahari
disini.
Tiba-tiba lamunanku terbang teringat kampung
halaman, teringat sepupu-sepupu, kemenakan di tanah Sumatera sana. Sungguh
beruntung mereka hidup di negeri yang tak bisa disebut miskin seperti disini. Kenya
memang sudah tumbuh, kalau lihat ibukota, Nairobi. Tak akan percaya rasanya ada
rumah-rumah tanah yang berukuran 3 X 4 meter saja, untuk 3-4 jiwa. Kesengsaraan
hidup masih melekati desa-desa Kenya.
Pada saat-saat menyaksikan betapa ringkihnya
kehidupan di Kiva; tanah gersang berbatu, sumber daya alam yang tak seberapa,
pasokan air yang melimbah di dam Kiva tapi sedikit saja yang mengalir ke
mereka, belum lagi HIV yang jumlahnya terus bertambah membuatku malu selalu
mengeluh atas kondisi tanah air. Sebagai sebuah bangsa, kita jauh lebih
beruntung. Ah rindu, ingin segera pulang.
Tiga anak itu berpamitan pulang, setelah empat buah
pisang kami buat tandas. Aku pun kembali ke Thika, kota kecil tak jauh dari
Nairobi. Sorot mata penuh harapan dari tiga anak Kiva menjadi semacam “kado
terindah” bagiku. Semoga mereka menjumpai takdir kemenangan mereka, sebagai
manusia, sebagai rakyat Kenya.
Rasa rindu, rasa ingin pulang ke anah air
menjalariku. Sementara dari jendela mobil aku menyaksikan perkebunan nanas yang
menjadi komoditas andalan di wilayah Thika. Negeri ini sekian lama dimiskinkan,
batinku. Keinginan pulang ke tanah air adalah perasaan alamiah yang selalu
hadir di kali bertandang ke negara asing, tapi kali ini berbeda, ingin pulang
dan mengubah cara pandang atas realitas negeri. Tak melulu mengeluh dan memaki
atas kenyataan yang menyenangkan di tanah air, tapi mencoba melakukan sesuatu
untuk masa depan yang lebih menajanjikan. Berhenti marah, berhenti bersikap tak
acuh.
***
Di lain waktu aku naik
ojek sepeda dari tempat ku menginap ke pasar di Thika. Tukang ojek itu masih
belia. Namanya Weah, ya nama yang mirip dengan bintang sepakbola Liberia.
Usianya kutaksir belum genap 15 tahun, meski kebeliaannya tertutup tubuh kekar
dan wajah ‘sangar’. Ia punya tujuh saudara, ayahnya entah dimana. Mereka hidup
bersama sang ibu. Itu cerita sepanjang perjalanan. Ia ingin menjadi
pesepakbola, pergi dari jalanan berdebu Thika dan meremput di klub Eropa itu
impian Weah.
30 shiling kuberikan
padanya sebagai ongkos ojek sepeda sekitar empat kilometer itu. 1 dollar
amerika senilai sekitar 86 shiling. Kurang dari empat ribu rupiah uang yang ia
terima. Tak sebanding dengan tenaga yang begitu besar ia gunakan untuk untuk
mengayuh sepeda membela jalanan Thika yang semrawut dan penuh debu.
Anak-anak yang
kehilangan masa-masa indah, masa-masa bermain mereka adalah wajah keseharian di
pelosok-pelosok Kenya. Usai membeli beberapa bungkus kopi dan teh khas Kenya,
aku kembali ke penginapan. Kucoba mencari sosok Weah di pangkalan ojek sepeda,
tak berjumpa. Kuputuskan berjalan saja. Langit mulai gelap, ada semacam rasa
khwatir juga berjalan di malam hari di sebuah negeri yang angka kriminalitasnya
jauh di atas Indonesia. Tapi, aku tetap berjalan.
Sepanjang berjalan
pulang, rasanya nyaman dan aman menjadi sulit didapatkan disini. Mobil dan
kendaraan bermotor merapati jalan sempit berlubang yang menghamburkan debu yang
alang kepalang. Tak ada trotoar, pejalan kaki benar-benar tersisih. Memasuki
jalan yang lebih lebar, aku berjalan dengan lebih aman dan tenang.
Teringat sosok Weah
yang tadi mengantarku, kisah Weah bisa jadi gambaran kebanyakan remaja disini.
Dipaksa keadaan meninggalkan bangku sekolah dan mengubur masa-masa indah. Kalau
saja dalam sehari ia bisa narik penumpang 10 kali maka ia akan dapat tak lebih
dari 300 shiling yang berarti kurang dari 4 dollar. Hidup di Kenya memang tak
mudah, batinku.
Rasa rindu, keinginan
menjejak tanah air membuncah. Ada rasa yang tak biasa.
***
Di tengah beragam kisah
yang kujumpa di di Kenya. Aku menyaksikan betapa ekspresif orang disini, mereka
bernyanyi, menari dan tersenyum dengan begitu menyala. Warna-warna pakaian
mereka pun begitu kaya dan menyala. Mereka slaing menyapa, mereka saling
bicara, mereka seperti sebuah keluarga besar. Sulit menjumpai pemandangan
semacam ini di negara-negara Eropa. Bahkan di Asia. Ada kehangatan yang
menyelimuti kehidupan mereka.
Apakah kesulitan hidup
telah membawa mereka pada sebuah kesadaran kolektif untuk menghadapinya secara
bersama-sama. Atau ini bentuk pelarian saja. Entahlah, yan kutahu aku menikmati
keramahan dan kehangatan khas Kenya.
Di tanah air keramahan
dan kehangatan macam ini juga tersedia, tapi sayang mulai membias tersapu derap
waktu yang melaju di kota-kota. Semua berfokus pada kehidupan masing-masing. Kota-kota
di tanah air tak lagi seramah dulu. Rindu kampung halaman. Ingin rasanya
bersenda gurau dengan handai taulan. Sekian lama aku merantau, kerap lupa bahwa
ada keluarga yang selalu menanti kepulangan. Lebih dari lima tahun aku
merantau, meninggalkan Palembang, meski lama, tapi selalu ada rindu untuk
pulang.
***
Kujejak kembali tanah
air setelah perjalan di Kenya yang mengesankan. Ada semacam kerinduan yang
terobati saat kudengar suara ibu di ujung telpon ketika kukabarkan aku sudah
tiba di Jakarta. Kembali ke tanah air berarti kembali pada realitas
keseharianku, tapi entah mengapa kepulangan kali ini menyisahkan rasa yang
berbeda. Aku pulang dengan rasa syukur terlahir sebagai bagian dari sebuah
negeri bernama Indonesia. Aku mencintai negeri ini lebih dari yang aku kira !
Semua foto adalah karya penulis (doa. huzer apriansyah)
Keculi foto 3 (tiga anak dan penulis) adalah karya seorang kawan, Nelson Borneo dari Malaysia
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.