Wednesday, February 26, 2014


Bukit-bukit bercadas tampak sekeliling, tumbuhan berduri menjalari tanah-tanah gersang . Entah sudah berapa mil jauhnya dari rumah, di Kiva, Kenya aku singgah. Sebuah perjalanan panjang, yang bahkan dalam mimpi pun tak terbersit untuk sampai di  sudut bumi ini. Ya, begitulah hidup, ada kejutan dalam tiap fasenya.

Aku duduk di sebuah gundukan tanah, tak jauh dari pasar tradisional. Buah, kerajinan tangan dan bahan pokok terjaja di kios-kios kayu, bentuknya lebih mirip pondok kayu tinimbang kios. Tiap ada mobil singgah, pedagang akan berlari menjajakkan sesuatu. Suasana begitu hiruk pikuk, untunglah banyak dia antara penduduk lokal berbahasa Inggris dengan sangat baik hingga aku bisa mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.Bahasa inggris merupakan bahasa resmi kedua setelah swahili. Tak heran anak-anak kecil pun fasih berbahasa Inggris dengan aksen british yang kental.



Dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan mengamatiku dari kejauhan. Kucoba menyapa mereka lewat senyum kecil yang kulempar pada mereka. Mereka mendakat, tak  butuh waktu lama untuk kami akrab. Kamera yang kubawa menjadi media yang mengakrabkan. Kuajarkan cara membidikkan kamera dan mengambil gambar, lantas mereka mengambil gambar. Tak hanya itu, kami belajar bersama, ah anak-anak memang selalu menyenangkan. Bahkan di sebuah negeri yang kerap dilanda konflik dan kekurangan pangan ini pun anak-anak tetap membahagiakan.

Aku menatap pancaran mata yang luar biasa dari mereka, ada energi harapan yang sulit dijelaskan. Di sebuah negeri yang masih berjibaku dalam kemiskinan dan ketakadilan serta eksploitasi korporasi macam di Kenya, anak-anak seperti inilah yang bisa jadi harapan. Masa depan Kenya ada pada mereka.



Pasar masih gaduh, tiga anak-anak itu bercerita tentang keseharian mereka. Tiba-tiba rindu meluncur di hatiku, seperti butiran embun yang menyesap, menyejukkan. Berbanding terbalik dengan sengatan matahari disini.

Tiba-tiba lamunanku terbang teringat kampung halaman, teringat sepupu-sepupu, kemenakan di tanah Sumatera sana. Sungguh beruntung mereka hidup di negeri yang tak bisa disebut miskin seperti disini. Kenya memang sudah tumbuh, kalau lihat ibukota, Nairobi. Tak akan percaya rasanya ada rumah-rumah tanah yang berukuran 3 X 4 meter saja, untuk 3-4 jiwa. Kesengsaraan hidup masih melekati desa-desa Kenya.

Pada saat-saat menyaksikan betapa ringkihnya kehidupan di Kiva; tanah gersang berbatu, sumber daya alam yang tak seberapa, pasokan air yang melimbah di dam Kiva tapi sedikit saja yang mengalir ke mereka, belum lagi HIV yang jumlahnya terus bertambah membuatku malu selalu mengeluh atas kondisi tanah air. Sebagai sebuah bangsa, kita jauh lebih beruntung. Ah rindu, ingin segera pulang.

Tiga anak itu berpamitan pulang, setelah empat buah pisang kami buat tandas. Aku pun kembali ke Thika, kota kecil tak jauh dari Nairobi. Sorot mata penuh harapan dari tiga anak Kiva menjadi semacam “kado terindah” bagiku. Semoga mereka menjumpai takdir kemenangan mereka, sebagai manusia, sebagai rakyat Kenya.

Rasa rindu, rasa ingin pulang ke anah air menjalariku. Sementara dari jendela mobil aku menyaksikan perkebunan nanas yang menjadi komoditas andalan di wilayah Thika. Negeri ini sekian lama dimiskinkan, batinku. Keinginan pulang ke tanah air adalah perasaan alamiah yang selalu hadir di kali bertandang ke negara asing, tapi kali ini berbeda, ingin pulang dan mengubah cara pandang atas realitas negeri. Tak melulu mengeluh dan memaki atas kenyataan yang menyenangkan di tanah air, tapi mencoba melakukan sesuatu untuk masa depan yang lebih menajanjikan. Berhenti marah, berhenti bersikap tak acuh.

***

Di lain waktu aku naik ojek sepeda dari tempat ku menginap ke pasar di Thika. Tukang ojek itu masih belia. Namanya Weah, ya nama yang mirip dengan bintang sepakbola Liberia. Usianya kutaksir belum genap 15 tahun, meski kebeliaannya tertutup tubuh kekar dan wajah ‘sangar’. Ia punya tujuh saudara, ayahnya entah dimana. Mereka hidup bersama sang ibu. Itu cerita sepanjang perjalanan. Ia ingin menjadi pesepakbola, pergi dari jalanan berdebu Thika dan meremput di klub Eropa itu impian Weah.

30 shiling kuberikan padanya sebagai ongkos ojek sepeda sekitar empat kilometer itu. 1 dollar amerika senilai sekitar 86 shiling. Kurang dari empat ribu rupiah uang yang ia terima. Tak sebanding dengan tenaga yang begitu besar ia gunakan untuk untuk mengayuh sepeda membela jalanan Thika yang semrawut dan penuh debu.

Anak-anak yang kehilangan masa-masa indah, masa-masa bermain mereka adalah wajah keseharian di pelosok-pelosok Kenya. Usai membeli beberapa bungkus kopi dan teh khas Kenya, aku kembali ke penginapan. Kucoba mencari sosok Weah di pangkalan ojek sepeda, tak berjumpa. Kuputuskan berjalan saja. Langit mulai gelap, ada semacam rasa khwatir juga berjalan di malam hari di sebuah negeri yang angka kriminalitasnya jauh di atas Indonesia. Tapi, aku tetap berjalan.



Sepanjang berjalan pulang, rasanya nyaman dan aman menjadi sulit didapatkan disini. Mobil dan kendaraan bermotor merapati jalan sempit berlubang yang menghamburkan debu yang alang kepalang. Tak ada trotoar, pejalan kaki benar-benar tersisih. Memasuki jalan yang lebih lebar, aku berjalan dengan lebih aman dan tenang.
Teringat sosok Weah yang tadi mengantarku, kisah Weah bisa jadi gambaran kebanyakan remaja disini. Dipaksa keadaan meninggalkan bangku sekolah dan mengubur masa-masa indah. Kalau saja dalam sehari ia bisa narik penumpang 10 kali maka ia akan dapat tak lebih dari 300 shiling yang berarti kurang dari 4 dollar. Hidup di Kenya memang tak mudah, batinku.

Rasa rindu, keinginan menjejak tanah air membuncah. Ada rasa yang tak biasa.

***
Di tengah beragam kisah yang kujumpa di di Kenya. Aku menyaksikan betapa ekspresif orang disini, mereka bernyanyi, menari dan tersenyum dengan begitu menyala. Warna-warna pakaian mereka pun begitu kaya dan menyala. Mereka slaing menyapa, mereka saling bicara, mereka seperti sebuah keluarga besar. Sulit menjumpai pemandangan semacam ini di negara-negara Eropa. Bahkan di Asia. Ada kehangatan yang menyelimuti kehidupan mereka.

Apakah kesulitan hidup telah membawa mereka pada sebuah kesadaran kolektif untuk menghadapinya secara bersama-sama. Atau ini bentuk pelarian saja. Entahlah, yan kutahu aku menikmati keramahan dan kehangatan khas Kenya.



Di tanah air keramahan dan kehangatan macam ini juga tersedia, tapi sayang mulai membias tersapu derap waktu yang melaju di kota-kota. Semua berfokus pada kehidupan masing-masing. Kota-kota di tanah air tak lagi seramah dulu. Rindu kampung halaman. Ingin rasanya bersenda gurau dengan handai taulan. Sekian lama aku merantau, kerap lupa bahwa ada keluarga yang selalu menanti kepulangan. Lebih dari lima tahun aku merantau, meninggalkan Palembang, meski lama, tapi selalu ada rindu untuk pulang.

***

Kujejak kembali tanah air setelah perjalan di Kenya yang mengesankan. Ada semacam kerinduan yang terobati saat kudengar suara ibu di ujung telpon ketika kukabarkan aku sudah tiba di Jakarta. Kembali ke tanah air berarti kembali pada realitas keseharianku, tapi entah mengapa kepulangan kali ini menyisahkan rasa yang berbeda. Aku pulang dengan rasa syukur terlahir sebagai bagian dari sebuah negeri bernama Indonesia. Aku mencintai negeri ini lebih dari yang aku kira !

Semua foto adalah karya penulis (doa. huzer apriansyah)
Keculi foto 3 (tiga anak dan penulis) adalah karya seorang kawan, Nelson Borneo dari Malaysia




0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts