Sebagai warga bangsa, sering kali gentar kalau harus
berpikir tentang hari depan. Bahkan sesekali memilih tak peduli. Meminjam
istilah Sindhunata, di depan petheng
ndedet, gelap gulita. Ada resah, benarkah republik ini akan tetap ada sepuluh,
dua puluh dasawarsa di muka ? Ada saja tak cukup, melainkan “mengada”.
Kalau menimbang sisi gelap republik hari ini;
korupsi, sumber daya alam yang dikelola secara tak bijak, sumber daya manusia
yang masih tercecer kualitasnya dan nilai-nilai budaya yang terlupa. Maka rasa
gentar itu kian menjalar.
Berita media hari ini mengupas banyak sisi gelap
pengelolaan negeri. Uang rakyat dijarah, sandiwara merajalela, sedang rakyat
berdiri lemah menghadapi bencana dimana-mana. Lantas, haruskah anak muda
seperti saya ikut menyerah atas keadaan yang ada ?
Teringat seorang sahabat, Nelson N Muiru, di Benua
Afrika sana, tepatnya di Kenya. Ia bersama anak-anak muda Kiambu County
berjuang menanamkan semangat kebersamaan di tengah komunitas yang sekian lama
berkonflik dan didera kemiskinan. Tanpa lelah mereka mencoba mencari celah yang
cerah untuk masa depan bersama.
Kondisi Indonesia jauh lebih baik dalam banyak
dimensi tinimbang Kenya. Maka tak ada alasan untuk menyerah. Di Kiambu, Nelson
dan kawan-kawan menebar harapan, di sebuah tanah gersang dimana konflik silih
berganti datang. Perjumpaanku dengan Nelson di Kenya, telah membuka mata tak
ada kondisi sosial yang benar-benar tak bisa diubah menjadi lebih baik. Semua
bisa, asalkan ada ikhtiar dan kebersamaan.
Kembali ke tanah air, di ujung barat nusantara aku
berjumpa dengan sesosok manusia yang memilih jalan terjal. Melawan arus utama
disana, ia menjaga alam saat yang lain justru merusaknya. Ayah Rajab, itulah
sosok yang tak henti mengajak komunitasnya untuk berhenti menggasak hutan di
Aceh Jaya, serta mempersuasi warga untuk tak merusak daerah aliran sungai
dengan merkuri yang mereka gunakan saat menambang emas.
Bukan pujian yang didapatkannya, melainkan cacian
bahkan kadang teror. Tapi ia tak berhenti, layar terkembang pantang surut ke
belakang. Ah, sebagai anak muda sepatutnya kita malu. Kita yang muda justru
lebih banyak mengeluh dan menghujat keadaan daripada melakukan sesuatu.
Tantangan
itu...
Tak ada yang mudah dalam hidup, apalagi menyangkut
masa depan di negeri yang baru pulih dari masa kelam sejarah. Indonesia baru
saja keluar dari sebuah masa yang tak mudah. Dimana demokrasi hanya hiasan ala
kadarnya saja, ekonomi yang tumbuh karena konglomerasi, sumber daya alam yang
dikuras hingga tandas, dan anak muda dilenakan dengan hura-hura semata.
Bicara masa depan, maka bicara tantangan. Kita
dihadapkan pada keadaan mengejar ketertinggalan dan keluar dari resonansi kultural
sebagai negara jajahan kolonial.
Ketertinggalan bangsa kita, bukan sekedar ekonomi,
teknologi dan ilmu pengetahuan. Melainkan yang paling mendasar adalah
mentalitas. Kita masih merasa sebagai bangsa inferior. Bisalah kita sebut ini
sebagai efek bangsa jajahan, tapi lebih dari itu ini masalah yang ada dalam
diri kita. Bukan melulu tentang bekas bangsa jajahan.
Mengutip Eleanor Roosevelt “No one can make you
feel inferior without your consent.” Jadi ini masalah bagaimana kita
mempersepsikan bangsa kita dan bangsa-bangsa luar. Indra Syafri, pelatih timnas
sepakbola U-19 kita, kerap berpesan pada anak didiknya. “Kita ini bangsa yang besar. Jangan inferior melihat bangsa lain !”
Kalimat pelatih itu tercermin dari bagaimana U-19 kita bermain di lapangan. Tak
peduli siapa lawan mereka, Korea Selatan , sang juara bertahan mereka buat
tertunduk lemas.
Jadi tantangan pertama kita sebagai bangsa adalah mengubah
mentalitas.
Cukup sudah selalu menjadi inferior ketika berhadapan dengan bangsa-bangsa
asing. Dino Patti Djalal punya konsep yang lebih utuh tentang ini; nasionalisme
unggul.
Tantangan kedua menyangkut pluralitas kita sebagai bangsa.
Keragaman budaya kita pada suatu titik adalah anugerah. Namun, jika gagal
dikelola justru menjadi bencana. Apa yang terjadi di Afrika Tengah, Uni Soviet
dan Yugoslavia adalah contoh nyata keragaman suatu bangsa yang gagal dikelola.
Tercerai berai dan luluh lantak dihancurkan konflik sesama.
Maka tantangan kedua adalah bagaimana mengelaborasi
pluralitas menjadi kekuatan bangsa ?
Tantangan ketiga adalah bagaimana menghadirkan sebuah
generasi yang mau bekerja keras, pantang menyerah untuk memperbaiki nasib bangsa. Pada
akhirnya, sebuah visi masa depan tak akan berguna jika tidak diusahakan dengan
kerja keras. Mimpi tetap akan menjadi mimpi jika kita tak membuatnya menjadi kenyataan.
Tiga tantangan di atas tentu saja adalah tantangan kita
sebagai bangsa. Terlebih lagi bagi anak muda di negeri ini.
Belajar Pada Anak Muda Berseragam Merah
Untuk menjawab tiga tantangan di atas, saya tak mau membawa-bawa teori sosial atau teori politik yang njelimet. Atau mencoba menganalisa dengan berbagai pendekatan konsepsional. Mari kita mencoba belajar dari hal yang lebih nyata, anak muda berseragam merah. Siapa mereka ? Tak lain tak bukan adalah tim nasional U-19.
Mereka baru saja menjuarai piala AFF U-19 untuk kali
pertamanya dalam sejarah keikutsertaan Indonesia. Lantas belum puas atas itu
semua, Evan Dimas, Maldini Pali, Ilham Udin dan kawan-kawan memastikan satu
tiket otomatis ke putaran final piala Asia U-19. Bukan main-main, Korea Selatan
mereka bikin babak bingkas.
Lantas apa hubungannya timnas U-19 dengan masa depan kita
sebagai bangsa. Mari kita tengok dengan seksama.
Pertama-tama tentang mentalitas. Timnas U-19 telah
membuktikan diri bahwa mereka punya mentalitas yang kuat. Tak menganggap bangsa
ini inferior meski berada dalam bayang-bayang sejarah yang kelam. Meski kita
tak pernah juara, bukan berarti mereka harus kalah. Mereka menganggap semua tim
sama saja. Tak peduli Thailand, Singapura atau Vietnam yang jauh lebih tangguh,
atau bahkan Korea Selatan yang dua tiga kali lebih tangguh dari kita. Mereka menunjukkan
bahwa mereka tak inferior.
Mentalitas mereka adalah kunci pencapaian itu. Perhatikan
saja kata-kata sang kapten, Evan Dimas “Tak
ada yang tak bisa dikalahkan, kecuali Tuhan.” Ini kalimat kunci yang
menunjukkan betapa mentalitas anak-anak muda itu tak lagi inferior. Selama ini
kalau mendengar nama negara lain, tak usahlah Korea Selatan, Thailand saja,
kita sudah merasa tak akan menang lawan mereka. Tapi, anak muda berseragam
merah itu menari lincah, mengumpan bola dengan seksama, seolah mewartakan
sebuah tarian perubahan. KAMI BUKAN BANGSA INFERIOR.
Memang mereka masih jauh dari mimpi tampil di piala dunia.
Tapi perubahan mentalitas mereka menjadi pembelajaran untuk kita semua. Tak ada
yang tak bisa diusahakan dengan kerja keras.
Pelajaran kedua dari anak-anak berseragam merah itu adalah
kemampuan mereka menjadikan pluralitas sebagai kekuatan. Lihat saja latar
belakang para pemainnya; bisa dibilang mewakili nusantara. Aceh, Palembang,
Sumatera Utara, Jawa, Nusa Tenggara, Sunda, Sulawesi, Maluku dan banyak daerah
di nusantara terwakili di tim harapan ini. Keahlian mereka bermain bola juga
beragam. Ada ahli dribling, juru
tembak, pembagi bola, kreator serangan, penghadang lawan dan sebagainya. Tapi
pada akhirnya mereka bermain dalam sebuah nyawa, dalam sebuah tarian
kebersamaan.
Tak ada yang lebih superior. Bolehlah Evan Dimas adalah
kapten sekaligus pengatur serangan, tapi bukan berarti ia tak tergantikan. Bisa
jadi Hansamu Yama, menjadi komandan di lini belakang, tapi ia pun rela
diteriaki oleh Faturrahman jika bikin kesalahan.
Pelajaran ketiga yang diberikan oleh anak muda berseragam
merah itu adalah cara mereka bekerja keras. Mereka bekerja keras bukan saja
saat pertandingan tapi saat persiapan. Tim nasional kita yang dulu terkenal lembek fisiknya, kini berubah
sebaliknya. Mereka bertempur tanpa lelah di 90 menit pertandingan bahkan jika
waktu tambahan diberikan.
Di lapangan kerja keras mereka selalu ditunjukkan. Paling
nyata ketika semua orang meyakini Korea Selatan akan menang dengan mudah atas
timnas U-19. Tapi mereka membalikkan keadaan, mereka bekerja keras 90 menit
lebih, menyusun serangan, mengatur pola permainan dan berjibaku mempertahankan
gawang dari kebobolan. Dua gol memang berhasil dilesakkan Korea Selatan, tapi
toh anak muda berseragam merah bisa melesakkan tiga gol. Ini semua tentang
kerja keras dan kebersamaan.
Tentu anak-anak muda berseragam merah ini masih jauh dari
mimpi merebut piala dunia. Tapi mereka telah mengangkat harkat kita sebagai
bangsa. Dari bangsa yang disepelehkan dalam kanca sepakbola, menjadi sebuah
negara yang mulai diperhitungkan. Lebih dari itu mereka telah mengajarkan pada
negeri ini tentang pentingnya memelihara impian, seberapa pun beratnya keadaan.
***
Pada akhirnya, spirit yang dibawa anak-anak
berseragam merah sepatutnya menjadi inspirasi bagi anak-anak muda nusantara. Di
saat negeri ini minim panutan, Evan Dimas dan kawan-kawan menjadi semacam pandu
bagi sebuah upaya mencapai impian. Ketika kita sebagai bangsa terseok-seok oleh
cara mengelolah negara yang rapuh, mereka mengajarkan sebuah tontonan tentang
nilai-nilai pengorbanan.
Selayaknya kita angkat topi untuk anak-anak
berseragam merah itu. Semoga mereka tak lantas pongah atas apa yang sudah
dicapai, dan kita bisa mereplikasi semangat dan kerja keras mereka untuk bangsa
!
Keterangan Foto
Foto 1 : Ilustrasi kondisi gelap negeri kita/doc. huzer apriansyah
Foto 2 : Nelson/doc. huzer Apriansyah
Foto 3 : Ayah Rajab dari Krueng Sabee, Aceh Jaya/ doc.huzer apriansyah
Foto 4 : Buku Dino Patti Djalal/doc. rmol.co
Foto 5 : Timnas U-19/doc. ary9blue.blogspot.com
Foto 6 : Kibaran Sang Merah Putih/doc. huzer apriansyah
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.