Teman kuliahku dulu memanggilku Huyer, anak-anak rimba memanggilku Ujeer, seorang ibu di Jogja memanggilku Buser, bahkan ada keluarga jauhku yang memanggilku Munsir. Well, awalnya aku berusaha memperbaiki pengucapan namaku oleh mereka, Huzer ! Tapi, pada akhirnya, I’m gave up. Biarlah mereka memanggil dengan kemampuan dan kesenangan mereka.
Mengapa kusebut kemampuan ? Banyak orang yang cukup sulit menyebut namaku yang mengandung huruf “Z”, contohnya temanku kuliah dulu yang asli Purworejo. Ia pernah minta maaf karena tak pernah benar menyebut namaku, alasannya, ia tak bisa menyebut huruf Z dengan tepat, maka ia mencoba mensubstitusi Z dengan Y. Lalu mengapa kesenangan ? ya, karena ada orang yang lebih senang menyebut Buser, karena mirip program acara di Teve.
Lalu, aku berpikir seberapa penting nama. Identitas, yup identitas. Nama adalah identitas. Dibalik setiap nama terkandung identitas pemilik nama tersebut. Identitas bukan sekedar pengenal tapi lebih dari itu, identitas adalah ego, keakuan. Mengapa aku sampai pada kesimpulan itu ?
Begini ceritanya, medio 2012, aku menulis sebuah artikel judulnya “Kekejaman Korporasi dan Posisi Suku Majinal (Catatan atas Konferensi Rio+20)” You can imagine how serious this article, guys J. Sebuah buletin internal tempatku bernaung memuatnya, tanpa menyertakan nama penulis artikel tersebut. Bete abiss ! it’s not fair, begitu batinku.
Tapi melalui sebuah permenungan, aku memutuskan untuk tak menganggap itu sebuah masalah lagi. Mengapa ? karena tulisan itu telah menemui takdirnya, tak bertuan. Toh, pesan tulisan itu telah sampai pada pembaca tanpa harus disertai nama penulisnya. Nama penulis itu hanya ego. Tapi seorang kawan bilang, mencantumkan nama pada tulisan juga merupakan pertanggungjawaban moral dan akademik atas apa yang ditulis. Iya juga sih, tapi menurutku, karena bukan benar-benar maksudku untuk tak mencantumkan nama pada tulisan itu, jadi ya pertanggungjawaban atas materi tulisan itu tetap saja berada padaku. Tapi bahwa tulisan itu tak memuat nama, karena keteledoran redaksi, itu perkara lain. Kalau aku menyoal itu, artinya aku mengagungkan ego, keakuan.
Pada titik itu aku belajar, bahwa namaku bukanlah aku. Namaku adalah ornamen memudahkan orang mengenalku sebagai manusia. Tapi lihatlah ketika anak-anak rimba memanggilku Ujeer, yang mereka maksud bukan orang lain melainkan aku. Kawan bagi sebagian kecil mereka, Ujeer yang rambutnya dikit, yang senang ikut mereka berburu dan paling lahap kalau makan babi, musang atau apa saja yang kami dapatkan. Begitupun keluarga jauhku yang memanggilku Munsir, ia tak bermaksud menggantiku dengan orang lain.
Lalu, mengapa prihal nama menjadi sesuatu yang bisa menimbulkan perang, kekacauan, perkelahian, keributan bahkan kematian. Contoh terakhir tatkala Pemerintah Indonesia menamai sebuah kapal perang dengan nama Usman Harun. Lantas Singapura berang, karena ini mengusik luka sejarah mereka. Bagiku, ini membuktikan sekali lagi nama adalah ego.
Bagi Indonesia, Usman Harun adalah pahlawan nasional, ini adalah ego kebangsaan Indonesia. Bagi Singapura Usman dan Harun adalah teroris. Menamai sebuah kapal perang yang akan lalu lalang di depan hidung bangsa Singapura tentu mengusik ego kebangsaan mereka.
Pertanyaannya, dinamai atau tidak kapal perang itu dengan Usman Harun, apakah bisa mengubah masa lalu ? Pasti tidak. Tapi sekali lagi ini tentang ego.
Saya berkesimpulan salah satu ciri manusia yang berdaulat secara moral adalah mereka yang bisa meredam egonya, keakuannya untuk sesuatu yang lebih besar ; perdamaian, cinta kasih, kebaikan bersama, dan hal-hal universal yang menjadi kebutuhan dasar tiap manusia. Manusia itu, terakhir bisa kita lihat pada sosok Nelson Mandela, Madiba.
Aku mendengar kalimat Shakespeare, “Apalah arti sebuah nama” sudah begitu lama. Aku kelas satu SMP kurasa. Atau sekitar 16 tahun silam. Tapi baru beberapa bulan ini, aku bisa mendefinisikan kalimat itu, dengan cara pandangku. Semoga bermanfaat !
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.