Sebagai bangsa, kita sudah lama punya mimpi memiliki
sebuah tim nasional sepakbola yang kelasnya dunia. Tapi apa daya mimpi kita
masih menggelayut, kegagalan demi kegagalan jadi catatan dua dasawarsa
belakangan. Meski demikian, kita tak lelah bermimpi.
Asa seolah mendekati nyata, manakala di penghujung
2013 kita menyaksikan sebuah tim yang berisi anak-anak muda berseragam garuda
mengamit piala, meski bukan ajang senior, tapi tropi juara U-19 menjadi pelega
dahaga. Penantian yang panjang untuk sebuah tropi akhirnya kabul juga. Tak
berselang lama, tiket otomatis ke Piala Asia usai melumat Korea Selatan di
partai penentu menjadi pelengkap kisah anak-anak berseragam merah tersebut.
Mukhlis Hadi Ning, Evan Dimas, Ilham Udin, Faturrahman
dan kawan-kawan segera saja menjadi buah bibir seantero negeri. Banyak sudah
tulisan yang mengulas sepak terjang anak-anak muda berseragam merah di bawah
asuhan pelatih Indra Syafri itu. Bahkan dua buku menjadi saksi perjalanan
mereka. Saya tak akan mengulas perjalanan mereka atau membahas tiki taka ala timnas U-19, saya justru
menemukan beberapa hal yang menarik dari tim ini, yang mungkin luput diulas.
Kebiasaan
Cium Tangan Pelatih
Mungkin luput dari perhatian kita, tiap kali ada
pemain yang keluar lapangan maupun masuk lapangan, mereka selalu mencium tangan
Indra Syafri, sang pelatih. Baik di pertandingan resmi maupun ujicoba hal ini
terjadi.
Layaknya seorang anak kepada ayah, itulah yang
kurasakan dari layar kaca. Jarang sudah kita melihat pemain bola mencium tangan
pelatihnya. Lalu sang pelatih membalas dengan mengusap kepala, atau menepuk
bahu bahkan terkadang memeluk pemainnya. Ah, sungguh sudah jarang melihat
hal-hal macam itu di sepakbla hari ini. Kalaupun ada sebatas salam tempel atau toss saja.
Inilah yang membuat tim ini berbeda, ada nuansa
kekeluargaan yang kental. Anak menghormati orang tua, orang tua menyayangi
anak. Klise memang, tapi hal-hal yang klise kadang dirindukan. Pada titik ini,
pelatih yang merangkap sebagai “ayah” berpeluang mengenali pemain tidak hanya
dari sisi skills atau teknik tapi
juga dari sisi emosional.
Awalnya, saya menduga kebiasaan ini karena usia
mereka yang masih relatif muda, sehingga mencium tangan pelatih merupakan hal
yang biasa mereka lakukan terhadap orang tua. Tapi setelah memperhatikan
pemain-pemain muda Indonesia lainnya di tur nusantara, tak banyak yang
melakukan hal serupa. Akhirnya, saya berkesimpulan tim ini memang terbangun
dengan banyak aspek. Moralitas menjadi salah satu aspek tersebut.
Selebrasi
Gol yang Itu-itu Saja
Perhatikan saja selebrasi tim ini saat mencetak gol,
entah siapapun yang mencetak gol, ending selebrasinya selalu ke pinggir
lapangan dan sujud syukur. Awalnya saya menilai ini kebetulan saja. Tapi
setelah lebih dari sepuluh kali menyaksikan timnas U-19, saya sadar bahwa ini
lebih dari sekedar kebetulan, tradisi.
Lantas, selebrasi ini simbol apa ? Dimensi religiositas anak-anak berseragam
merah. Cermin rasa syukur, sekaligus penyerahan diri pada Sang Maha. Apa
gunanya hal macam ini dalam sepakbola yang sepenuhnya bergantung pada teknik,
taktik, kekuatan, dan kecepatan. Sisi psikologislah yang terpengaruh dengan
kebiasaan ini. Perasaan selalu ada kekuatan yang lebih besar di atas kekuatan
manusia. Membuat ada invisible hand
yang diyakini akan jadi salah satu faktor kunci.
Pada sisi lain, kondis sepakbola Indonesia yang
karut marut, membuat kita telah terbiasa menjadi inferior. Maka hadirnya
kekuatan Tuhan di tengah lapangan bisa menjadi semacam kekuatan tersendiri.
Lihat saja apa yang dikatakan kapten timnas U-19, Evan Dimas “Hanya Tuhan yang
tak Bisa Dikalahkan”.
“Hanya
Tuhan yang Tak Bisa Dikalahkan”
Kalimat di atas adalah ucapan sang kapten, Evan
Dimas. Ucapan yang menurut saya memiliki kedalaman. Kalimat yang tak hadir
begitu saja, melainkan lewat semua permenungan. Mentalitas inferior yang selam
ini merajami timnas kita, tiba-tiba mendapat pelawanan dari kalimat Evan Dimas.
Kalau akan menghadapi Kamboja, Brunai atau Timor
Leste kita akan sangat yakin, kemenangan akan datang. Tapi kalau sudah akan
bertemu tim macam China atau Thailand saja, alih-alih meyakini kemenangan,
tidak dibantai saja kita sudah senang. Itulah inferiornya kita.
Tapi kalimat yang diungkap Evan, bukan tanpa syarat.
Toh, Tuhan tak akan mengubah nasib
suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya. Begitu pun timnas kita;
fisik, teknik, intelegensia adalah sarat dari berlakunya kalimat di atas. Kalau
dulu menit 70an pasukan merah putih sudah mulai sempoyongan, kini hal itu tak
terasa di timnas U-19. Teknik, belumlah benar-benar teruji, tapi paling tidak,
dasar bermain sepakbola mereka meyakinkan. Intelegensia, belum ada hasil uji yang
dipublikasikan, tapi dari cara mereka bermain, ada kecerdasan yang ditampilkan.
Lalu yang terakhir adalah mentalitas, pada domain
inilah kalimat “Hanya Tuhan yang tak bisa dikalahkan,” menjadi ada maknanya.
Pada sisi lain, sekali lagi pasukan berseragam merah
ini tengah menunjukkan relegiositas mereka.
Mengembalikan
Filosofi “Bintang”
Sepakbola Indonesia tak pernah sepi bintang, tiap
zaman punya bintangnya, dua dekade terakhir sebut saja; Aji Santoso, Kurniawan
DJ, Bima Sakti, Bambang Pamungkas, sampai ke generasi Syamsir Alam dan seratus
satu bintang lainnya. Mereka bersinar terang di langit gelap.
Berbeda dengan tim nasional U-19 kali ini, bintang-bintang
itu semua bersinar. Bukan satu atau dua bintang saja yang bersinar di langit
gelap.
Inilah bedanya, langit menjadi terang karena banyak
bintang yang bersinar. Memang tak ada bintang yang sinarnya dua tiga kali lebih
terang dari yang lainnya, semua bersinar dalam range yang kurang lebih saja.
Benar ada Evan Dimas, tapi sinar kebintangannya tak
lebih terang dari Hargianto atau Zulfiandi, benar bahwa Hansamu bersinar terang
di lini belakang tapi sinarnya sama terang dengan sinar Faturrahman. Maldini
Pali boleh menari-nari hingga sinarnya menerang, tapi bukan berarti Dinan
Xavier kalah terang sinarnya, begitu pun yang lainnya.
Indahnya bintang, tatkala langit terang karena
kombinasi sinar banyak bintang bukan saat sebuah bintang bersinar terang tapi
langit gelap gulita.
***
Pada akhirnya, rakyat
di republik ini tengah cerah ceria menyaksikan tiap laga Ilham Udin dan
kawan-kawan, ada harapan, ada asa dan ada suka cita. Semoga anak-anak muda ini
bisa terus berdiri tegak walau kenyataan kadang bikin sesak...
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.