Langit kota Medan mulai gelap, penumpang mulai gelisah. Pesawat yang dinanti tak kunjung
mendarat. Aku mulai gelisah, harus sampai Jakarta tepat waktu, esok pagi harus
melanjutkan perjalanan ke Jogja dengan kereta. Sebuah acara penting sudah
menunggu disana.
Satu jam lewat dari jadwal semula, akhirnya pesawat
yang akan membawaku ke ibukota berangkat juga. Kursi penumpang tak padat, di
barisanku, aku duduk bersama seorang bapak yang bekerja di instansi negara. Bersiap
berjumpa keluarga tercinta di ibukota, usai dinas di daerah.
Pesawat lepas landas dengan mulus, tak ada guncangan,
tak ada hal-hal yang mengejutkan. Ngiiiiiiiiiit
ngiiiiiiiiiit, suara roda yang masuk ke posisi semula menjadi penanda fase
awal penerbangan berdurasi kurang lebih dua jam ini berlangsung baik-baik saja.
Usai berbincang
sejenak dengan bapak yang duduk dekat saya, kami kembali pada aktivitas
masing-masing. Bapak itu memejamkan mata, dan aku membayangkan di atas udara
mana saat itu berada. Kebetulan Airbus A320 yang kutumpangi tak ada monitor
yang menggambarkan proses perjalanan. Beeep,
lampu kecil di sisi atas dimatikan, sabuk pengaman bisa tak digunakan. Ini fase
yang selalu aku nantikan, penanda kalau penerbangan berlangsung lancar.
Aku bukan orang yang terlalu tenang dalam perjalanan
menggunakan pesawat, kerap risau, kalau tak mau dibilang takut. Kalau bisa
memilih naik kereta atau sepeda motor, aku lebih pilih itu daripada pesawat
udara. Tapi tentu itu opsi yang tak berimbang, jadilah pesawat tetap jadi pilihan. Meski penerbangan berdurasi
panjang pernah kulakukan, Jakarta-Singapura-Frankfurt, Jakarta-Dubai-Nairobi,
Jakarta-Hongkong-London dan jalur-jalur lain pernah kujalani, tapi rasa risau
itu tak pernah benar-benar hilang. Begitu pun malam itu.
Sekitar satu jam perjalanan, aku mengira saat itu
tengah berada di atas wilayah Sumatera Selatan, atau Lampung mungkin. Pikiranku
mulai tenang, setengah jalan lagi, pikirku.
Selang beberapa menit, lampu tanda kenakan sabuk
pengaman kembali menyala, aku mulai gundah. Pasti akan ada sesuatu, pikirku. Aku
tak memasang sabuk pengaman, karena sedari tadi aku tak melepaskannya. Aku
menundukkan kepala, berharap semua akan baik-baik saja. Kubangunkan bapak di
sebelah, sabuk pengamannya nampak tak terpasang. Ia terjaga dan mengucapkan
terima kasih.
Sesaat pesawat bergetar, seperti ada gesekan dengan
awan tebal, getaran semakin keras. Aku menggenggam pegangan kursi. Merapatkan jari-jari
kaki, seraya merafalkan doa-doa. Tiba-tba pesawat melesat turun, semua
terhentak, jantungku berdegup begitu kencang. Banyak diantara kami yang
meneriakkan “Allahu akbar”, “Astagfirullah..”
seorang bayi melengking kencang.
Pesawat tenang sejenak, tapi tiba-tiba kembali meluncur
dalam. Bapak di sebelahku berteriak “jatuh
kita, jatuh kita.” Ku pejamkan mata, wajah orang-orang tercinta melintas,
mama, papa, adik-adikku. Pesawat seperti terhempas. Suasana hiruk menyeruak
kembali, banyak yang berteriak. Tak ada tanda-tanda keadaan berlangsung normal,
pesawat seperti sebuah kapal di tengah gelombang.
Suara berderak terdengar berulang kali. Sampai pada
sebuah titik, jantungku tak lagi berdegup kencang. Kalaupun inilah saat
terakhirku, aku pasrah, begitu batinku sembari terus merafal doa. Semua tubuhku
sepertinya mengeluarkan keringat dingin.
Sesaat kemudian, pesawat mulai terbang tenang,
kulirik jendela, suasana masih pekat. Tak ada tanda-tanda kami akan tiba.
Suasana pesawat hening, hanya gemuruh mesin yang terdengar. Bapak di sebelahku,
mengusapkan kedua tangannya ke wajah, tanda syukur nampaknya. Aku masih menantikan lampu kenakan sabuk pengaman itu
dimatikan. Tapi tak kunjung dipadamkan.
Sekitar dua puluh menit setelah masa-masa kritis
itu, pengumuman pesawat akan mendarat. Lantas terdengar suara roda yang keluar,
penanda pendarata sudah semakin dekat. Sebuah hantaman lembut memastikan kami
mendarat selamat di bandara Sukarno – Hatta, Jakarta. Kusapukan kedua tangan di
wajah. Kubekapkan beberapa menit, sembari mengucapkan syukur pada pemilik
kehidupan, masih diberi kesempatan menatap matahari esok pagi.
Saat pesawat berhenti sempurna, kudengar bapak disebelahku
menelpon. Sebuah kalimat tiba tiba meluncur dari mulut bapak itu “Aku mencintai kalian semua. Semua baik-baik
di rumah kan, Ma ?” Sepertinya ia baru saja menghubungi keluarga tercinta.
Ingin pula segera menelpon mama dan papa tapi kutunda sampai di ruangan bandara
nanti.
Semua penumpang menarik lapas lega. Pintu pesawat
dibuka, satu persatu kami meninggalkan pesawat. Banyak diantara kami yang
mengucapkan terima kasih pada pilot dan kru yang melepas kami di pintu.
***
Kejadian itu, pertengahan 2009 lalu, lima tahun
sudah. Tapi semua masih membekas lama. Aku pernah mengalami penerbang yang tak
kalah buruk di rute Batam-Jambi, kemudian Jakarta-Jambi dan juga Dubai-Nairobi.
Kejadian-kejadian itu makin membuatku gentar tiap kali ada tugas atau
perjalanan yang memaksaku menggunakan pesawat terbang.
Kematian memanglah sebuah misteri dan setiap kita
akan mengalaminya, tapi doaku, tidak dengan cara seperti di pesawat udara.
Kejadian-kejadian yang terasa begitu dekat dengan
kematian memang selalu membawa kita pada kesadaran-kesadaran baru akan makna
hidup dan kehidupan. Betapa rapuh dan kecilnya kita sebagai manusia, lantas apa
yang bisa kita banggakan ?
Merawat tiap menit yang miliki dengan orang-orang
tercinta, memberi yang terbaik bagi orang lain adalah pilihan yang menyenangkan
untuk menghabiskan waktu di dunia yang memang tak lama ini.
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.