Petang itu suasana sejuk menyeruak, angin mengirimkan
kesegaran. Orang masih berduyun-duyun datang, meski sholat Ashar berjamaah
sudah rampung. Seorang anak kecil menjaga tempat penitipan alas kaki di sisi
barat, lebih dari dua puluh pasang alas kaki ada di rak besi berwarna hitam
itu. Uang kertas, seribu, dua ribu dan lima ribu tampak menyesaki sebuah kotak
kaleng yang tak besar.
Semua sisi adalah pintu, bangunan ini dirancang
tanpa dinding, hanya sisi depan, ke arah mimbar saja yang ada penutupnya,
itupun bukan dinding permanen. Hanya dinding sementara yang berhiaskan
kaligrafi. Usai sholat, terutama Ashar atau Dzuhur, saat empat rakaat tunai,
sejenak rebah memang sebuah pilihan dari kebanyakan orang.
Kutunaikan rakaat-rakaat yang memang sudah menjadi
kewajibanku. Usai itu, aku mulai menarik “pelatuk” kameraku. Ornamen kaligrafi
di sisi depan masjid menjadi sasaran pertamaku. Kuubah posisi duduk, kini
bersandar di sebuah tiang besar yang posisinya agak di tengah. Lebih leluasa mencari
sudut bidik. Seorang bapak tampak khusyuk menjumpai Sang kekasih dalam rukuknya.
Ada ratusan tiang, menjadi tak mudah untuk memotret
sisi dalam, aku tak menghitung berapa jumlah tiang. Namun, orang-orang menyebut
tempat ini masjid seribu tiang. Benarkah seribu ? entah juga. Sebuah sumber di
wikipedia menyebut tiangnya berjumlah 256. Aku tak berminat memastikan
kebenarannya.
Kucoba merebahkan tubuh di bagian tengah masjid,
angin berhembus pelan, masjid tak berdinding ini memang membuat angin bebas
hilir mudik, tanpa penghalang berarti. Para jamaah perempuan yang berjajar di
sisi tengah agak ke depan dengan mukena putih memberi efek kontras dengan alas
sembahyang yang gelap.
Konon di tanah tempat masjid ini berdiri adalah
tanah pusat Kesultanan Jambi tempo waktu. Disinilah dulu sebuah ‘istana’ Sultan
Jambi berdiri, namanya istana Tanah Pilih[i].
Masjid ini sendiri dibangun pada 1960. Tentu bukan suatu masjid yang berumur
tua dibanding masjid agung di banyak daerah, termasuk tetangga Jambi, Palembang,
masjid agung Palembang didirikan pada
abad ke 18.
Sebenarnya tak jauh dari masjid agung Al-Falah ini
ada sebuah masjid yang lebih tua. Masjid Magatsari namanya, menurut sumber
sejarah lokal Jambi, masjid ini berdiri sekitar tahun 1906, tapi ada sumber
lain yang menyebut sudah berdiri sejak tahun 1800-an. Kalau berjalan kaki dari
lokasi masjid Al-Falah ke Masjid Magatsari mungkin tak ada lima belas menit.
(di lain waktu penulis akan menulis secara khusus tentang Masjid Magatsari).
***
Angin yang semilir
melenakan mata, ada semacam kesejukan di kelopak mata. Suara seorang bapak yang
melantunkan kitab suci membuat suasana syahdu. Sayangnya teorama damai itu terusik
oleh suara kendaraan yang memacu kecepatan di jalan besar dekat masjid. Nyaris
tak ada jarak antara masjid dan jalan. Halaman masjid pun tak begitu luas,
sehingga suara knalpot memorak porandakan kekhusyukan sholat di masjid yang
unik ini. Tentu berharap kesadaran pengendara untuk menurunkan kecepatan saat
melintas adalah harapan para jamaah, tapi pembuatan aturan yang tegas oleh
negara juga penting untuk dilakukan. Maksimum kecepatan 20-30 KM per jam saja
misalnya.
Saya pernah sholat di
beberapa masjid agung atau masjid utama di sebuah daerah; Palembang, Jakarta,
Purwokerto, Yogyakarta, dan beberapa daerah lainnya, kebanyakan dari masjid itu
berhalaman luas, bahkan di Jawa biasanya terlindung alun-alun sehingga
kebisingan teredam jarak. Tapi di Al-Falah tidak demikian, suara knalpot angkot
kadang seolah berada di sebelah telinga. Ah, sebuah sisi yang sayang sekali
harus kuceritakan disini, tapi begitulah adanya.
Seorang bapak yang tak
lagi muda, menata rapih sandal-sandal jepit yang bisa digunakan untuk mengambil
penyuluh[ii].
Kebersihan dan kerapian di masjid ini adalah hal lain yang patut dipuji.
Mataku mengarah pada
sebuah beduk besar, kayu-kayu kokoh yang menghitam melingkar membentuk rongga
yang di salah satu sisinya kulit sapi atau kerbau menjadi penutup. Kureka-reka
kayu kehitaman itu, kalau tak kayu Meranti mungkin Bulian, pikirku. Kadang jadi
bertanya, darimana teknologi beduk ini datang. Adakah relasinya dengan
kebudayaan Cina, atau justru didatangkan dari Timur Tengah atau jangan-jangan
orijinal nusantara. Ah, ada-ada saja, bukankah rasanya sulit menemukan sesuatu
produk budaya yang benar-benar orijinal,
apalagi di kebudayaan nusantara yang memang bukan kebudayaan tertua di muka
bumi ini. Pastilah saling silang budaya, pengaruh satu dan yang lain ikut
mewarnai.
Aku mulai melangkah
keluar, kuarahkan langkah ke dekat rak alas kaki yang dijaga anak kecil bermata
sipit tadi. Mataku mengulas sekali lagi sisi dalam masjid, memang berbeda
masjid yang satu ini, batinku. Masjid yang terbuka di semua sisinya, mengundang
siapa saja untuk hadir, menunaikan sembahyang atau sekedar singgah menyejukkan
tubuh. Masjid yang tak angkuh, masjid yang benar-benar menjadi rumah bagi
semua. Sebuah konsep yang jarang kita jumpai, banyak masjid yang justru
menunjukkan tampang eksklusifnya daripada inklusif seperti yang ditampilkan
masjid seribu tiang ini. Bukankah beginilah Islam seharusnya, inklusif !
[i] Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Agung_Al-Falah,
diakses pada 24 Maret 2014, pukul 15.40
[ii] Dalam
bahasa Melayu Palembang penyuluh berarti wudhu
Note : Semua Foto adalah karya huzer apriansyah
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.