Ketika disuguhi pertanyaan, “Bagaimana kamu tahu kalau
perempuan/laki-laki itu adalah pasangan jiwamu ?” Masing-masing kita punya cara
berbeda menjawabnya, standarnya pun beraneka. Kalau aku sederhana saja, ketika
dalam hati berkata “Yup, inilah orangnya !” maka detik itu juga aku yakin bahwa
dia layak dan harus diperjuangkan. Tak peduli sudah kenal sehari atau sejuta
hari.
Hari gini masih percaya intuisi ? Hanya itu standar yang
original, karena intuisi orang satu dengan yang lain berbeda. Kalau pake
pendekatan ciri, standar atau ukuran, maka bisa jadi ada persamaan antara semua
laki-laki atau perempuan di dunia. Contoh, kebanyakan laki-laki ingin punya
pasangan hidup; cantik, pintar, soleha syukur-syukur kaya. Kalau ini rumusnya,
yang di luar itu akan jomblo sepanjang zaman bisa-bisa.
Begitu pun perempuan, standar pasangan hidupnya
rata-rata, bermimpi dan berjuang untuk mendapatkan lelaki yang setia, kaya,
tampan syukur-syukur cerdas. Yeah, kalau semua pakai standar ini ribuan lelaki
akan jadi pengangguran cinta. Termasuk yang punya blog ini...
Nyatanya tidak selalu demikian, intuisi, rasa dan
keyakinanlah yang menuntun kebanyakan kita dalam menemukan pasangan hidup. Yup, inilah orangnya, itu standarku
dalam meyakini bahwa seseorang adalah pasangan hidupku. Pertanyaannya, apakah
intuisi bisa salah ? salah dan benar dalam hal-hal yang sifatnya subyektif.
Sebenarnya tidaklah eksis, yang ada hanya persepsi tentang benar atau salah.
Selama pikiran kita meyakini itu kebenaran maka data yang dialirkan ke pikiran
kita adalah data yang mendukung kebenaran itu. Begitu sebaliknya.
Hanya saja kemudian satu hal yang biasanya (*pengalaman pribadi) melemahkan atau menguatkan intuisi kita;
lingkungan (persepsi orang banyak). Ketika kawan-kawan, keluarga dan banyak
orang bilang, “Kamu yakin pilih dia ?” atau mereka bilang “Dia perempuan gak
benar tahu, kamu yakin ?” Pada titik inilah intuisi kita akan tergerus.
Pilihannya; percaya pada intuisi atau persepsi lingkungan ? That’s up to you. Terserah kita
masing-masing.
Kalau dipikir-pikir, tak akan pernah ada pasangan yang
benar-benar 100 persen sesuai keinginan. Karena apa ? karena keinginan kitapun
kerap berubah-ubah. Kendali keinginan ada pada otak dan hasrat. Sedangkan
masalah pasangan adalah masalah hati, sesuatu yang ukurannya sangat personal.
***
Halah, koq tulisannya jadi
kayak motivator-motivator berbiaya tinggi di teve itu ya ? Muak juga dengan
tulisan di atas. Jadi saya sarankan pada orang yang tersesat ke blog ini dan
membaca tulisan di atas, SKIP...SKIP. Anggap sebagai omong kosong dari
seseorang yang baru saja jatuh hati. Yup jatuh hati pada pada sebuah buku. Judul
buku itu Wuthering Heights, sebuah karya klasik Emily Bronte, novelis kelahiran
Yorkshire, Inggris tahun 1818. Novel ini pertama kali terbit dengan nama
penulis Ellis Bell, nama pena Emily Bronte.
Pada halaman kosong di
bagian akhir buku aku menulis beberapa kalimat setelah menamatkan novel yang terbilang
panjang dan lama ini...
Membaca
buku ini memahatkan pengalaman baru bagiku dalam memahami cinta. Aku melihat
cinta sebagai sebuah kebiasaan saja. Paling tidak hal itu tergambar melalui
sosok Cathy (tokoh dalam novel). Namun Heitcliff menuntunku akan sebuah bentuk
cinta yang aku sendiri tak mampu membayangkannya. Edgar Linton hampir serupa
dengan Cethy. Sedangkan Catherine adalah sosok yang sangat rasional dalam
mencintai.
Buku
ini adalah petualangan cinta yang penuh misteri, kelam dan kejam. Dan aku
meyakini penulis buku ini adalah sosok yang hidup dalam kesepian...
Buku
ini paling tidak membuatku sadar betapa nisbinya cinta, tapi keisbian itulah
yang membuat cinta selalu menarik dibincang dan dijalani...
Semua Foto Ilustrasi adalah karya Huzer Apriansyah