Indonesia
seperti telah mendapatkan presiden baru, manakala Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan menetapkan Jokowi
sebagai calon presiden (14/3). Semua indikator mengarah pada satu kesimpulan;
Jokowi presiden kita 2014-2019. Benarkah demikian ?
Semua
hasil survei yang dirilis lembaga survei dimana prosesnya melibatkan pendapat
publik enam bulan terakhir menempatkan Jokowi di peringkat teratas. Bahkan di beberapa
survei, angkanya di atas 30 persen. Selain survei, popularitas Jokowi melesat
tajam di media, tiada jam tanpa pemberitaan tentang Jokowi, di media sosialpun
demikian adanya. Rasa-rasanya memang Jokowi sudah tak terbendung.
Di
sisi lain, Prabowo Subianto, capres Partai Gerindra makin terkikis peluangnya
seiring kehadiran Jokowi. Di samping itu reaksi kerasnya terhadap PDIP dan
Jokowi ikut membuat citra Prabowo merosot. Capres konvensi Parta Demokrat
belumlah jelas, tapi diyakini tak akan mampu membendung “efek Jokowi”.
Begitupun dengan Aburizal Bakrie yang sedari awal memang peluangnya tak besar
menurut survei, ditambah dengan beredarnya
video jalan-jalan Aburizal bersama artis kakak beradik di Maladewa, akan
ada efek negatif pada pencapresannya. Meski tim Golkar mencoba mengubah kondisi
negatif beredarnya video ini justru menjadi senjata baru.Calon dari Partai
Hanura dan PKS masih tercecer di belakang, begitupun PKB, PAN, PPP dan PBB.
Di
luar itu semua, kita masih ingat dengan jelas ketika Jokowi memenangkan
pemilukada DKI Jakarta, semua survei menunjukkan Fauzi Bowo akan menang, bahkan
Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis, Foke akan menang satu putaran saja.
Tapi apa yang terjadi, justru the
underdog, Jokowi, jadi pemenang. Lantas apa hubungannya dengan Jokowi hari
ini ?
Kondisi
di atas angin yang dialami Jokowi hari ini bisa menjadi bumerang, jika Jokowi
menerapkan strategi yang terlalu defensif seperti sekarang. Karena pada
akhirnya bisa saja pertahannya dibobol lawan. Banyak sekali amunisi lawan
politik Jokowi untuk menyerangnya. Isu korupsi, ini adalah isu yang akan sangat
dahsyat berdampak pada opini publik. Partai Demokrat sudah merasakannya. Banyak
pihak meyakini bahwa Jokowi bersih, tapi mungkin saja ada ‘kelalaian” Jokowi
ketika memimpin Solo atau saat memimpin Jakarta, lihat saja kasus impor bus
trans Jakarta yang sudah mulai ditembakkan ke Jokowi.
Isu
SARA (Suku, agama dan ras) akan tetap dijadikan senjata melemahkan Jokowi. Isu
bahwa Jokowi keturunan Tionghoa dan isu sensitif lainnya akan terus dimainkan,
terutama di daerah-daerah yang memiliki basis agama tertentu yang kuat. Tentu
Jokowi dan PDIP bisa tenang untuk isu yang satu ini, pemilukada DKI membuktikan
isu ini tak mempan. Tapi, entah bagaimana dampaknya jika isu Jokowi dicukongi
konglomerat hitam Tionghoa terus digoreng lawan politiknya, bisa jadi
memberikan dampak siginifikan.
Isu
keluarga, dalam sebuah sistem politik dimana figur adalah hal yang penting (Patron-client) isu keluarga biasanya
direspon sangat luas oleh publik. Pertanyaannya, apakah Jokowi punya sisi gelap
terkait perilaku personal dan memiliki isu seputar keluarga yang “hitam” ? jika
tidak, ya Jokowi akan tenang saja. Tapi kalau ada yang disembunyikan, maka
Jokowi dan tim sudah harus siap mengantisipasinya ? Aburizal Bakrie sudah
merasakan, tapi sejauh ini timnya mampu mengelolah isu tersebut.
Satu
lagi isu yang sekarang terus menerus dikelola oleh Gerindra untuk menyerang
Jokowi adalah isu Jokowi pembohong dan tak tahu terima kasih. Jokowi dulu
berjanji akan menjalankan amanah di DKI sampai tuntas, tapi nyatanya ia memilih
meninggalkan DKI di usia pemerintahan yang masih seumur jagung. Isu ini belum
terlalu masif, tapi dampaknya sudah mulai terasa. Tak kurang dari 180 orang tim
sukses Jokowi saat menjadi calon gubuernur DKI menarik dukungan terhadap Jokowi.
Begitupun dengan beberapa elemen masyarakat Betawi mulai meninggalkan Jokowi.
Kita
masih akan melihat isu-isu baru yang akan terus menghantam Jokowi. Apakah
Jokowi akan terus tenang dan mengacuhkan semua isu, atau sesekali akan
melakukan serangan balik, kita tunggu saja ? Pertarungan isu ini akan semakin
sengit pasca pemilihan umum legislatif.
Asal Bukan Jokowi (Abujo)
dan Golkar Connection
Prabowo
di Gerindra, Wiranto di Hanura, Surya Paloh di Nasdem, beberapa tokoh kunci di
Demokrat sebut saja Hayono Isman, dan beberapa tokoh di partai lain tak dapat
dipungkiri memiliki keterhubungan dengan Partai Golkar. Meski sebagian mereka
bisa disebut sebagai kelompok yang “terbuang”. Di luar itu masih ada Sri Sultan
Hamengkubowono X, Jusuf Kalla, Din Syamsudin dan banyak tokoh senior lainnya.
Akankah mereka bersatu membendung Jokowi ?
Sulit
untuk menyatukan semua, tiap mereka punya kepentingan. Tapi sejarah politik
kita mencatat poros tengah pada tahun 1999 berhasil memenangkan Almarhum
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden, padahal PAN dan PKB yang jadi
motor poros tengah taklah akur. Tapi dengan semboyan ABM (Asal Bukan Mega),
kepentingan mereka menjadi satu. Akankah kali ini terulang kembali ? Abujo,
asal bukan Jokowi.
Kekuatan
yang terlalu superior seperti Jokowi hari ini, niscaya akan mengundang
resistensi. Bukan mustahil superioritas Jokowi justru menyatukan lawan-lawna
politiknya menjadi satu barisan, barisan abujo. Apalagi pendeklarasian Jokowi
disebut berbagai pihak tepat waktu, tapi bagi saya, resiko yang diambil PDIP
begitu besar. Semakin jauh jarak antara deklarasi capres dengan pilpres,
membuat calon yang diusung semakin mudah diserang. Mengingat PDIP tak terlalu
yakin bisa “memerahkan” Indonesia di pemilihan legislatif jika Jokowi tak
segera dideklarasikan, ya pilihan mempercepat deklarasi, menjadi sah-sah saja.
Barisan
abujo ini tak bisa dianggap remeh, semakin hari barisan ini akan semakin masif.
Hanya membutuhkan momentum dan siapa yang mengambil inisiatif. Kalau Golkar dan
Gerindra bisa bersatu, Jokowi akan mendapat lawan seimbang. Kita tungguh saja
babak demi babak dalam drama politik di 2014 ini. Apapun dramanya, pada
akhirnya rakyat yang akan menentukan siapa presiden kita.
Note : Tulisan ini juga dimuat di Harian Jambi Independent (26/03)
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.