Monday, March 17, 2014


Sebuah kapal kayu tak mampu menepi, Sungai Batanghari terlalu surut. Kapal-kapal besar tak bisa berlabuh sempurna. Perahu-perahu berukuran sedang menjadi perantara orang atau barang yang bergerak dari kapal ke tepian. Kupasati kapal kayu yang tampak tua diregang masa, bentuknya khas sekali. Meski menua, tapi kharismanya justru makin nyata.

Terbayang betapa ramainya Sungai Batanghari pada masanya, kapal-kapal ukuran besar bersaling silang dari hilir ke hulu, hulu ke hilir. Membawa kopra, emas dari hulu, atau membawa kain, alat dari besi dari hilir atau apa sajalah. Elsbeth Locher-Scholten dalam buku Sumatraans Suktanaat en koloniale Staat (1994) yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia (2008), menyatakan Batanghari adalah urat nadi Jambi. Meski demikian, menurut catatan Elsbeth Locher, antara ibukota kesultanan ke dusun-dusun di hulu kadang tak bisa dilayari.

Sampai kini, Batanghari tetaplah urat nadi di Jambi tapi dalam dimensi dan skala yang tak sama. Nuansa masa lalu dengan mudah kita dapati jika memasati keramaian Batanghari di pagi atau petang hari. Perahu bermotor yang menyeberangkan orang dari Jambi kota ke Jambi seberang, kapal-kapal kayu yang membawa muatan dan perahu-perahu kecil para nelayan setia menapaki aliran Batanghari yang tenang. Sampah-sampah kota pun tak kalah riuh memadati Batanghari. Kadang berpikir, inilah tempat pembuangan akhir yang murah meriah.

Ah, betapa tak adilnya kita. Batanghari yang telah memberi manfaat sedemikian rupa, mulai dari sumber air minum, kebutuhan mandi cuci kakus, sampai medium transportasi, dibalas dengan lemparan sampah semena-mena. Itu kisah di hilir. Di hulu lebih pilu. Aliran Sungai Batanghari diserbu pemburu emas, PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) menjadi pemandangan sehari-hari jika kit bergerak ke hulu.

Batanghari alang kepalang panjangnya, 800 kilometer kurang lebihnya. Kelak kelok Batanghari memanjang dari Bukit Barisan sampai ke Laut Cina Selatan di hilir. Menjadikannya sesuatu yang ikonik di tanah Jambi. Ingat Jambi ingat Batanghari, ingat Batanghari ingat Jambi, begitu kira-kira.

Matahari kian terangkat, jam sepuluh kurasa. Perahu-perahu bermotor yang menepi di sisi Pasar Angsa Duo mulai mengangkuti penumpang, tak ada tawar menawar penumpang dan juru mudi perahu, semua sudah tahu sama tahu. Air kecoklatan menghempas-hempas dinding perahu, satu persatu penumpang duduk di kursi kayu yang dibuat seadanya saja. Tak menunggu lama juru mudi tancap gas menuju Jambi Seberang.

Dari kejauhan nampak jelas rumah-rumah kayu bertiang tinggi berjajar, Jambi seberang, disanalah rumah panggung masih jadi pilihan. Sebagai bentuk adaptasi dengan alam. Sebagian orang melihat rumah-rumah kayu sebagai bentuk keterbelakangan, masa lalu. Tapi di mataku, rumah-rumah kayu itu memberi romansa, nusantara dalam wajah aslinya. Bukankah dulu nenek moyang bangsa Melayu memang berumah panggung, peradaban Barat dan Tionghoa lah yang kemudian memperkenalkan rumah-rumah batu yang kaku itu.  

Ketek, perahu, kapal kayu juga warna asli nusantara yang memang dilintasi sungai di sana sini, tapi semua berganti. Transportasi darat dirasa lebih efektif di dunia modern. Ketek, perahu atau kapal kayu seolah menjadi representasi ketertinggalan, kuno. Jalan darat pun di bangun tanpa mengenal waktu, sedang transporatsi berbasis sungai diabaikan bahkan ingin ditinggalkan. Itulah negeri kami, ironi !

Tak terkecuali Jambi, sungai mengalami pendangkalan di sana sini. Ketika musim kemarau, kapal-kapal kesulitan berlayar. Dermaga-dermaga penyeberangan dibiarkan begitu saja, tak ada perhatian yang serius. Pada masanya nanti, mungkin menjadi langka melihat perahu hilir mudik di Batanghari.
Matahari makin terik, penganan khas Melayu sudah habis kulahap, segelas teh pun tandas. Aku mulai bergegas.
***
Sekedar duduk sejam dua di tepian Batanghari adalah hobiku sejak dua tahun lebih bermukin di kota ini. Entah mengapa aku selalu hanyut dalam kenangan masa lalu tiap kali menatapi gerak kehidupan di Batanghari. Aku merasakan nusantara dalam wajah yang senyatanya, yang telah lama dibungkam oleh pembangunan yang lupa pada akar budaya dan kearifan leluhurnya.


 Semua foto karya huzer apriansyah

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts