Monday, December 26, 2011


1321906785420325653
Ilustrasi /doc@huzera
17 Juli 1994, sebuah sepakan penalti yang meninggi di atas kanan mistar gawang Taffarel menjadi ujung kisah Piala Dunia di Amerika Serikat. Skuad Brazilpun berhamburan ke lapangan, meneriakkan kemenangan. Di sudut lain, sang legenda Italia yang bermain luar biasa sepanjang kompetisi, menundukkan kepala, sorotan zoom in wajahnya membuat kita bisa melihat ia menangis tersedu-sedu. Roberto Baggio, legenda gli azzuri itupun tak berkutik melawan suratan nasib.

Menang dan kalah dalam sebuah laga puncak, kadang tak ditentukan oleh kemampuan dan kapasitas permainan sebuah tim. Hanya selaput tipis pembeda menang dan kalah itu; keberuntungan. Kota Roma dan segenap penjuru negara semenanjung itupun mendadak senyap. Tak terhitung berapa banyak airmata tumpah kala itu. Baggio tak menangis sendiri, seganap sisilia menangisi nasib mereka.
Keesokan harinya media-media Italia, tak satupun yang mengungkit kegagalan eksekusi penalti Baggio, Massaro dan Baresi. Tiga bintang yang akhirnya gagal menjalankan tugas terakhir mereka.

Kisah Baggio itu sudah lama berlalu, bahkan telah dipendam oleh rakyat Italia dan digantikan kisah sukses gli azzuri di piala dunia selanjutnya, 2006. Juga lewat adu penalti, Perancispun takluk. Bahkan Zidane harus meninggalkan lapangan sebelum laga usai. Kartu merah mengusirnya.

***
1321907075263401825
Malam ini di sebuah negara yang dua dasawarsa terakhir “tak masuk” peta sepakbola dunia, sebuah negara semenjana dalam sepakbola dunia, Indonesia. Kita bisa merasakan pedihnya Seantero Itali, kala Baggio gagal melesakkan penalti. Malam ini, saat Ferdinan Sinaga dengan kaki kirinya gagal mengecoh kiper Malaysia, nusantara senyap sesaat. Airmatapun tak tertahan. Hanya serabut tipis bernama nasiblah yang membedakan airmata kita di nusantara dengan pesta pora di negara tetangga.

Benarlah apa yang diungkap Jean de La Fontaine, Penulis Perancis abad 17, “A person often meets his destiny on the road he took to avoid it”. Kadang kita justru menjumpai takdir kita di jalan yang kita hindari. Malam ini kita menjumpai nasib kita di jalan pedih bernama kekalahan. Rasanya tak ada di antara kita yang menghendaki jalan duka ini.

Jujur saja, tadi kuitikkan airmata. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana rasa dalam hati anak-anak muda itu. Aku menangis bukan karena kita kalah, tapi tak kuasa melihat perjuangan anak-anak muda yang telah mengajari kami banyak hal itu harus berujung sepedih ini.

Tak kuasa rasanya menatap Patrich Wanggai berkaca-kaca padahal hati dan raganya telah ia berikan seluruhnya sepanjang kompetisi. Tak pula mampu ku menyaksikan bagaimana Andik tersedu dalam pelukan Aji Santoso. Tarian-tarian lincahnya berakhir di ujung selaput tipis bernama keberuntungan. Tak pula sanggup rasanya menyaksikan Abdul Rahman tertunduk dan berkaca-kaca di sudut lapangan. Padahal ia berjibaku tiada ampun sepanjang 120 menit. Aku makin terisak menatap Egi Melgiansyah menutup wajahnya menyembunyikan airmata. Padahal kita semua melihat, berapa puluh kali Egi harus terkapar menahan laju lawan selama kompetisi ini berlangsung.

Tangisku, tangis ribuan anak negeri lainnya tak akan mengubah apapun. Malaysia telah menjadi pemenang, walau kita tentu tak senang. Tapi inilah kenyataan yang menghadang. Nasib, takdir !

Pantas saja mantan Sekjen PBB Dag Hammarsjold mengungkapkan “Destiny is something not be to desired and not to be avoided. a mystery not contrary to reason, for it implies that the world, and the course of human history, have meaning.” Takdirlah yang membuat dunia dan sejarah manusia menjadi memiliki makna. Ini pula yang tengah kita hadapi, sebuah misteri bernama sepakbola.

Entah apalagi yang dapat kutuliskan, pada akhirnya inilah momen Robohnya tiang gawang kami..

***
Sepanjang sejarah hidup menyaksikan tim sepakbola kita berlaga, dua kali saja aku terisak melihat kekalahan tim nasional. Tangis pertama tumpah manakala Korea Selatan mengalahkan garuda di laga penyisihan Piala Asia di Jakarta pada 2007. Andai saja kita bisa menang, sejarah akan ditorehkan. Pertama kali lolos ke babak knock out Piala Asia.

Kala itu, dari bangku kelas IV GBK kutermangu dan berkaca-kaca, bukan karena kekalahan tapi menyaksikan seisi stadion menyanyikan “Indonesia Raya” di penghujung laga. Lagu yang diharapkan bisa menemani kepedihan laskar garuda ketika itu. Malam ini aku menangisi kembali, betapa nusantara yang kaya luar biasa ini harus selalu tertunduk di lapangan hijau.

Esok..

Entah bagaimana membayangkan hari-hari esok sepakbola kita pasca kekalahan malam ini. Tak mudah rasanya membangun “kebersamaan” yang luar biasa hebat sejak mereka berlaga. Kurasa satu dua minggu ini kita masih akan berduka, enggan membuka suratkabar, kalaupun membuka berusaha menghindari halaman olahraga.

Tak perlu berlama-lama mengulas kekalahan malam ini. Biarlah ia teratat dalam sejarah sepakbola kita. Tak bisa membayangkan andai kata 100ribuan pendukung garuda muda di GBK tadi mengakhiri kekalahan dengan sebuah lagu bersama “Padamu negeri” mungkin atau “Indonesia Raya” . Kuyakin lagu itulah yang akan dikenang oleh Ferdinan Sinaga dan Gunawan Dwi Cahyo, bukan tendangan mereka yang gagal memperdaya Fahmi, kiper Malaysia itu.

Sudahlah, pesta telah usai, bola-bola kenduri harus berhenti. Kembalilah negeri ini berhadapan lagi di keseharian. Tak lama lagi kita akan “dihibur” dengan the royal wedding. Tak lama lagi kita akan kembali berkonsetrasi dengan drama di KPK, kitapun kembali dalam keseharian negeri kita.
Kalaulah Tuhan “hadir” di lapangan tadi, aku hanya ingin berdoa.

Tuhan, kalaulah negeri kami terlalu kotor untuk sekedar sebuah doa sederhana, doa bagi kemenangan tim nasional kami, kenapa tidak kepedihan ini Kau tumpahkan saja pada mereka yang telah merusak negeri ini dengan laku culasnya. Mengapa tak kau beri peringatan saja langsung pada mereka yang meluluhlantakkan alam yang Kau titipkan pada kami, mereka telah membantai bumi kami dengan keserakahan tak terperih. Hutan luluh lantak, perut bumi mereka kunyah tanpa henti. Mengapa harus Kau timpahkan kesedihan pada kami dan anak-anak muda yang telah mengorbakan diri mereka setengah mati demi sebuah kemenangan, ini sederhana saja Tuhan. Tapi kutahu, pasti Engkau punya rencana lain untuk kami”

Salam Robohnya Tiang Gawang Kami…
Note : Judul posting terinspirasi oleh judul buku kumpulan cerpen AA NAvis “Robohnya Surau Kami”

Tulisan ini adalah pemenang dalam kontes Ngeblog SEA Games yang digelar Indosat dan Kompasiana

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts