Kau menyebut negeri itu negeri seribu danau,
aku benci negeri itu tapi kau justru sangat mencintainya. Aku benci
karena negeri itu telah membawamu terasa jauh. Bukan hanya fisik tapi
juga hati kita berjarak.
Kebencianku
akan negeri seribu danaumu setara dengan kebencianku kala kau ungkit
kebusukan masa laluku. Tak sepilar tamengpun bisa kubawa saat kata-kata
pedasmu menusuk ulu hatiku. Lintang pukang egoku saat kisah gelapku kau
bawa kembali. Pupus lumus hatiku saat laku hitamku di masa lalu kau
jadikan pagar bagi dirimu. Lalu jerujinya kau tusukkan ka jantungku.
Aku
tahu, mungkin pedih dan hancurku tak akan pernah menyamai perih hatimu
yang dulu kuhancurkan. Kau menyebutku ilalang yang berdusta. Iya, seribu
persen tak salah. Tak akan pernah bisa aku mengubah masa lalu. Namun,
kau tahu justru saat kesalahan itu kulakukanlah aku meyakini bahwa tak
ada yang bisa menggantikanmu. Sesakit dan semalu apapun itu, aku mencoba
merangkak menggapaimu kembali.
***
Teringat
sebuah malam yang menua di Sabtu ujung Juni, kita berdua menghabiskan
malam di halte depan toko buku itu. Usai keributan seminggu penuh,
jadilah malam itu malam yang kaku biru. Bukan kata-kata indah yang ada,
kita justru bermain tebakan nama negara. Ah..itu permainan kesukaanmu.
Latar belakang sekolahmu yang Hubungan Internasional membuat aku selalu
terkapar melawanmu.
Kalau tak curang biasanya aku akan kalah telak..
”J untuk Jerman” katamu memulai permainan.
“Jepang” jawabku,
“ehmm..Jamaika” balasmu.
“eehmm apa lagi ya ? bentar-bentar..” aku mencoba mengulur waktu
“Buruan..kalau gak tau bilang dunk..” Dirimu mulai menggodaku
“Oh iya..J ya….ehm Jimbabwe…” sebutku asal.
“Ngawuur mana ada Jimbabwe, Zimbabwe kalii..” Dirimu menjegal langkah taktisku..
“Adalah..temenku
orang Purworejo, kalau manggil namaku Hijer bukan Hizer, Z jadi J, maka
Zimbabwe boleh dunk jadi Jimbabwe” jurus ngelesku mulai bergema
“Gak ah..maleslah..ya udah 7-3 skornya..” dirimu berkeras.
“Gak bisa, bukankah menurutmu semua orang itu unik dan tidak boleh digeneralisir” Jurus ngeles tingkat dua keluar dariku.
“Halah…pokoknya 7-3”
Permainan
malam itu berlangsung ketat, aku kalah dua angka. Apakah kau ingat itu
sayangku ? Malam itu berakhir aku tertidur di halte. Di pangkuanmu aku
terlelap. Tak sedikitpun kau mengeluh karena dirimu harus jadi
sandarku..
Permainan
itu mengakhiri keributan kita. Keributan yang dimulai saat kau menyebut
mantanmu yang sudah membaca Tan Malaka saat SD, sedang aku baru
mengenal Tan Malaka saat SLTP.
Kau
tahu sayangku, kau membakarku dengan itu. Kuacuhkan dirimu seminggu
penuh. Aku tak mengatakan padamu jika aku marah. Sehari sepuluh kali
kautanyakan kenapa aku marah. Tak merekah diamku. Kubiarkan kau menerka.
Sampai malam di depan toko buku itu barulah kutahu bukan maksud hatimu
melukaiku.
Ah,
aku ingat. Kau pernah pula menghukumku tak berkata seujung katapun
selama seminggu pula. Saat kau temukan SMS teman perempuanku. SMS mesra
yang membuatmu terluka. Aku menyesali perbuatanku itu
Sampai
akhirnya kubawa setangkai mawar merah, kuletakkan di depan pintu
kamarmu. Setangkai bunga yang kulekatkan bersama sesobek kertas biru “Aku mencintaimu..maafkan aku” Redah amarahmu. Terima kasih mawar merah..
Seratus
satu cerita keributan antara kita. Entah mengapa kita tak pernah
benar-benar bisa berpisah. Sesakit dan seberat apapun kisah pedih kita,
pada akhirnya kita tak pernah benar-benar bisa berpisah. Sampai akhirnya
senja terakhir di atas jembatan merah. Senja yang tak akan pernah bisa
kulupa.
Senja yang akan kusesali sesisa umurku.
***
Enam hari yang lalu kau kembali dari negeri seribu danau.
Satu
jam dari rencana kedatanganmu aku sudah mematung di ujung gerbang
bandara. Kakak, ibu dan adikmu serta teman-temanmu tampak bergerombol di
sisi lain bandara. Aku membeku dalam lamunan masa lalu kita, kisah yang
tak akan pernah habis jika dituliskan. Aku kadang bertanya bagaimana
bisa aku menghafal tiap inchi kisah kita. Rasanya tak ada yang terlepas
dari ingatanku. Ah…mungkin itulah cinta…
Keluargamu
hampir semua berbusana gelap. Tidak denganku aku memilih baju biru yang
dulu pernah kaupilihkan untukku. Ya..kau belikan baju itu di pasar
malam dekat tempat kerjamu. Bukan baju yang mahal tapi ini baju yang
sangat aku sukai. Kukenakan jeans biru dan sepatu putih yang dulu kita
beli di proyek Senen.
Pesawat
yang membawamu dari negeri seribu danau tiba. Sejam dari pengumuman
pendaratan pesawatmu, seorang petugas kulihat menghampiri keluargamu,
mengajak mereka ke ruang khusus di bandara. Kuikuti keluargamu dari
kejauhan. Setelah kakakmu menandatangani beberapa berkas sejurus itu
tangis ibu, adik, kakak dan teman-temanmu pecah. Peti putih berbungkus
rapih membawamu pulang.
Ibumu
menangis sesegukan, tak kuat ia menahan pedih. Roboh ibu di pelukan
adik lanangmu. Airmata tak tertahankan di ruang besar dengan pintu-pintu
lebar itu. Sejenak kakakmu menarik tanganku, memberi kesempatan aku
menjumpaimu.
Kekasihku, kau tahu aku merasakan tubuhku seperti puzzle
terpecah-pecah dalam kepingan pedih. Tak lagi bisa kurasa detak
nafasku, bahkan aku merasa terangkat dari tanah. Begitu ringan rasanya
tubuhku. Namun, aku ingat janjiku, akan menyambut kepulangamu dengan
senyuman dan sekecup cium di kening.
Aku
melangkah pelan, bahkan tak bisa merasakan tangan kakakmu yang
membimbingku. Sungguh kekasihku, aku tak menangis, tak setetespun
airmata yang jatuh, itu janjiku. Meski dadaku rasanya ingin meletup
diterjang airmata, tapi aku tersenyum.
Kusingkap
kain putih tipis yang menutupi wajahmu. Menatap senyum yang masih
terselip di wajahmu membuat jantungku seolah berhenti dan kehilangan
ritmenya. Sejurus kudekatkan bibirku ke keningmu. Maaf kekasihku aku tak
mampu bertahan lagi, dadaku rasanya benar-benar penuh airmata.
Tiba-tiba saja aku tak mampu merasakan lagi tubuhku…
***
Di
sebuah dipan kecil berseprai putih aku tersadar. Aku beranjak. Seseorang
yang tak kukenal memberikan segelas air . Kuteguk air itu, wajahmu
masih rapat rasanya di mataku.
Kubasuh mukaku dan kuambil penyuluh.
Aku berbaris di depan peti putih berbungkus rapi. Tempat kau berbaring
dengan senyum yang sama saat kita bermain tebak-tebakan nama negara
dulu. Pada Tuhan aku berbisik di ujung sholat itu “Tuhan, kalau
cinta itu memang ada. Kumohon tutupkanlah jalannya di hatiku. Tutup
sampai detik ini saja. Tuhan kumohon jagakan kekasihku, berikan ia
tempat terindah ya Tuhan…”
Saat tubuhmu mulai dipindah dalam keranda hijau tua itu, aku berkeras untuk menjadi salah satu yang membawamu ke rumah terakhir.
Pelan
dirimu makin hilang tertutup tanah merah. Wangi bunga yang ditaburkan
kian membuatmu hilang. Semua bersegera pulang. Aku minta izin untuk lima
menit lebih lama bersamamu. Memejamkan mata sembari melempar senyum ke
arahmu. “kekasihku, aku mencintaimu”
***
Hari
ini adalah hari ke-32 perpisahan abadi kita. 30 hari aku mengubur diri
di kamar, menghabiskan tiap kalimat yang kau tulis di catatan-catatanmu.
Aku tak ingin hanyut dalam pedih ini. Aku tahu kau akan marah lihat aku
hanya bermalas-malasan dan bersedih sepanjang hari.
Kekasihku,
aku sudah tak murung lagi. Aku sudah beraktifitas seperti biasa lagi.
Aku sudah mulai bisa tersenyum. Kekasihku semoga kau membaca
catatan-catatanku. Karena hanya lewat catatan-catatan inilah aku
menyapamu. Kalau kau tanya sampai kapan aku akan menulis catatan ini.
Mungkin sampai Tuhan mempertemukan kita kelak.
note: penyuluh = wudhu
#Untukmu bunga rumputku…
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.