Monday, December 5, 2011

Kau menyebut negeri itu negeri seribu danau, aku benci negeri itu tapi kau justru sangat mencintainya. Aku benci karena negeri itu telah membawamu terasa jauh. Bukan hanya fisik tapi juga hati kita berjarak.

Kebencianku akan negeri seribu danaumu setara dengan kebencianku kala kau ungkit kebusukan masa laluku. Tak sepilar tamengpun bisa kubawa saat kata-kata pedasmu menusuk ulu hatiku. Lintang pukang egoku saat kisah gelapku kau bawa kembali. Pupus lumus hatiku saat laku hitamku di masa lalu kau jadikan pagar bagi dirimu. Lalu jerujinya kau tusukkan ka jantungku.

Aku tahu, mungkin pedih dan hancurku tak akan pernah menyamai perih hatimu yang dulu kuhancurkan. Kau menyebutku ilalang yang berdusta. Iya, seribu persen tak salah. Tak akan pernah bisa aku mengubah masa lalu. Namun, kau tahu justru saat kesalahan itu kulakukanlah aku meyakini bahwa tak ada yang bisa menggantikanmu. Sesakit dan semalu apapun itu, aku mencoba merangkak menggapaimu kembali.

***
Teringat sebuah malam yang menua di Sabtu ujung Juni, kita berdua menghabiskan malam di halte depan toko buku itu. Usai keributan seminggu penuh, jadilah malam itu malam yang kaku biru. Bukan kata-kata indah yang ada, kita justru bermain tebakan nama negara. Ah..itu permainan kesukaanmu. Latar belakang sekolahmu yang Hubungan Internasional membuat aku selalu terkapar melawanmu.
Kalau tak curang biasanya aku akan kalah telak..

”J untuk Jerman” katamu memulai permainan.
“Jepang” jawabku,
“ehmm..Jamaika” balasmu.
“eehmm apa lagi ya ? bentar-bentar..” aku mencoba mengulur waktu
“Buruan..kalau gak tau bilang dunk..” Dirimu mulai menggodaku
“Oh iya..J ya….ehm Jimbabwe…” sebutku asal.
“Ngawuur mana ada Jimbabwe, Zimbabwe kalii..” Dirimu menjegal langkah taktisku..
“Adalah..temenku orang Purworejo, kalau manggil namaku Hijer bukan Hizer, Z jadi J, maka Zimbabwe boleh dunk jadi Jimbabwe” jurus ngelesku mulai bergema
“Gak ah..maleslah..ya udah 7-3 skornya..” dirimu berkeras.
“Gak bisa, bukankah menurutmu semua orang itu unik dan tidak boleh digeneralisir” Jurus ngeles tingkat dua keluar dariku.
“Halah…pokoknya 7-3”

Permainan malam itu berlangsung ketat, aku kalah dua angka. Apakah kau ingat itu sayangku ? Malam itu berakhir aku tertidur di halte. Di pangkuanmu aku terlelap. Tak sedikitpun kau mengeluh karena dirimu harus jadi sandarku..

Permainan itu mengakhiri keributan kita. Keributan yang dimulai saat kau menyebut mantanmu yang sudah membaca Tan Malaka saat SD, sedang aku baru mengenal Tan Malaka saat SLTP.
Kau tahu sayangku, kau membakarku dengan itu. Kuacuhkan dirimu seminggu penuh. Aku tak mengatakan padamu jika aku marah. Sehari sepuluh kali kautanyakan kenapa aku marah. Tak merekah diamku. Kubiarkan kau menerka. Sampai malam di depan toko buku itu barulah  kutahu bukan maksud hatimu melukaiku.

Ah, aku ingat. Kau pernah pula menghukumku tak berkata seujung katapun selama seminggu pula. Saat kau temukan SMS teman perempuanku. SMS mesra yang membuatmu terluka. Aku menyesali perbuatanku itu
Sampai akhirnya kubawa setangkai mawar merah, kuletakkan di depan pintu kamarmu. Setangkai bunga yang kulekatkan bersama sesobek kertas biru “Aku mencintaimu..maafkan aku” Redah amarahmu. Terima kasih mawar merah..

Seratus satu cerita keributan antara kita. Entah mengapa kita tak pernah benar-benar bisa berpisah. Sesakit dan seberat apapun kisah pedih kita, pada akhirnya kita tak pernah benar-benar bisa berpisah. Sampai akhirnya senja terakhir di atas jembatan merah. Senja yang tak akan pernah bisa kulupa.
Senja yang akan kusesali sesisa umurku.
***
Enam hari yang lalu kau kembali dari negeri seribu danau.
Satu jam dari rencana kedatanganmu aku sudah mematung di ujung gerbang bandara. Kakak, ibu dan adikmu serta teman-temanmu tampak bergerombol di sisi lain bandara. Aku membeku dalam lamunan masa lalu kita, kisah yang tak akan pernah habis jika dituliskan. Aku kadang bertanya bagaimana bisa aku menghafal tiap inchi kisah kita. Rasanya tak ada yang terlepas dari ingatanku. Ah…mungkin itulah cinta…

Keluargamu hampir semua berbusana gelap. Tidak denganku aku memilih baju biru yang dulu pernah kaupilihkan untukku. Ya..kau belikan baju itu di pasar malam dekat tempat kerjamu. Bukan baju yang mahal tapi ini baju yang sangat aku sukai. Kukenakan jeans biru dan sepatu putih yang dulu kita beli di proyek Senen.

Pesawat yang membawamu dari negeri seribu danau tiba. Sejam dari pengumuman pendaratan pesawatmu, seorang petugas kulihat menghampiri keluargamu, mengajak mereka ke ruang khusus di bandara. Kuikuti keluargamu dari kejauhan. Setelah kakakmu menandatangani beberapa berkas sejurus itu tangis ibu, adik, kakak dan teman-temanmu pecah. Peti putih berbungkus rapih membawamu pulang.

Ibumu menangis sesegukan, tak kuat ia menahan pedih. Roboh ibu di pelukan adik lanangmu. Airmata tak tertahankan di ruang besar dengan pintu-pintu lebar itu. Sejenak kakakmu menarik tanganku, memberi kesempatan aku menjumpaimu.

Kekasihku, kau tahu aku merasakan tubuhku seperti puzzle terpecah-pecah dalam kepingan pedih. Tak lagi bisa kurasa detak nafasku, bahkan aku merasa terangkat dari tanah. Begitu ringan rasanya tubuhku. Namun, aku ingat janjiku,  akan menyambut kepulangamu dengan senyuman dan sekecup cium di kening.

Aku melangkah pelan, bahkan tak bisa merasakan tangan kakakmu yang membimbingku. Sungguh kekasihku, aku tak menangis, tak setetespun airmata yang jatuh, itu janjiku. Meski dadaku rasanya ingin meletup diterjang airmata, tapi aku tersenyum.

Kusingkap kain putih tipis yang menutupi wajahmu. Menatap senyum yang masih terselip di wajahmu membuat jantungku seolah berhenti dan kehilangan ritmenya. Sejurus kudekatkan bibirku ke keningmu. Maaf kekasihku aku tak mampu bertahan lagi, dadaku rasanya benar-benar penuh airmata. Tiba-tiba saja aku tak mampu merasakan lagi tubuhku…
***
Di sebuah dipan kecil berseprai putih aku tersadar. Aku beranjak. Seseorang yang tak kukenal memberikan segelas air . Kuteguk air itu, wajahmu masih rapat rasanya di mataku. 

Kubasuh mukaku dan kuambil penyuluh. Aku berbaris di depan peti putih berbungkus rapi. Tempat kau berbaring dengan senyum yang sama saat kita bermain tebak-tebakan nama negara dulu. Pada Tuhan aku berbisik di ujung sholat itu “Tuhan, kalau cinta itu memang ada. Kumohon tutupkanlah jalannya di hatiku. Tutup sampai detik ini saja. Tuhan kumohon jagakan kekasihku, berikan ia tempat terindah ya Tuhan…”

Saat tubuhmu mulai dipindah dalam keranda hijau tua itu, aku berkeras untuk menjadi salah satu yang membawamu ke rumah terakhir.

Pelan dirimu makin hilang tertutup tanah merah. Wangi bunga yang ditaburkan kian membuatmu hilang. Semua bersegera pulang. Aku minta izin untuk lima menit lebih lama bersamamu. Memejamkan mata sembari melempar senyum ke arahmu. “kekasihku, aku mencintaimu”

***
Hari ini adalah hari ke-32 perpisahan abadi kita. 30 hari aku mengubur diri di kamar, menghabiskan tiap kalimat yang kau tulis di catatan-catatanmu. Aku tak ingin hanyut dalam pedih ini. Aku tahu kau akan marah lihat aku hanya bermalas-malasan dan bersedih sepanjang hari. 

Kekasihku, aku sudah tak murung lagi. Aku sudah beraktifitas seperti biasa lagi. Aku sudah mulai bisa tersenyum. Kekasihku semoga kau membaca catatan-catatanku. Karena hanya lewat catatan-catatan inilah aku menyapamu. Kalau kau tanya sampai kapan aku akan menulis catatan ini. Mungkin sampai Tuhan mempertemukan kita kelak.

 
note: penyuluh = wudhu
#Untukmu bunga rumputku…


0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts