Monday, January 23, 2012

Kasar sekali lelaki tua itu memaksakan empat lembar bergambar Diponegoro masuk ke dalam tubuhku. Jari-jari keras lelaki setengah abad itu seolah tak peduli mau seperti apa bentuk kertas berharga itu jadinya. Dia memang bukan lelaki biasa, godfather begitu orang-orang menyebutnya. Bukan sehari dua aku bersamanya, lima tahun sudah.

Lima tahun aku berada di tumpukan bagian bawah. Kawan-kawanku sudah lama pergi, semakin tinggi berada di tumpukan makin cepat pergi. Entah untung, entah buntung, aku berada ditumpukan bawah. Jadilah aku pergi belakangan. Dulu kami bertumpuk-tumpuk hingga bermeter-meter. Mungkin tahun ini kami semua akan meninggalkan ruang kerja lelaki tua berbini lima itu. Entah untung, entah buntung, aku termasuk yang terlama berada di rumah megah ini. Kalau tak salah hitung pelayannya saja ada dua puluh tiga. Jaringan telponnyaada lima, perempuan cantik molek juga datang dan pergi entah berapa kali dalam sehari. Taklah aku tahu status mereka.

Jelang perayaan sakral seperti hari-hari ini, lelaki tua bertato naga itu akan lebih banyak di ruang kerja ini. Bertas-tas berisi rupiah dibawa oleh lelaki-lelaki kekar yang kukira-kira adalah pengawal. Berhari-hari The Godfather itu memasukkan sendiri lembar demi lembar rupiah itu. Konon, ia tak mau dewa-dewa tertukar menilai kebaikannya, maka ia lakukan sendiri ritual kebajikan itu.

Entah untung, entah buntung. Lima tahun aku berkesempatan melihat dan mendengar banyak hal di ruang kerja pengap dan agak berdebu ini. Tentu tak masuk akal, lelaki super kaya dengan banyak anak buah itu membiarkan ruang kerjanya pengap dan berdebu. Semua tumpuk menumpuk di ruang berukuran tak lebih dari lima meter persegi itu. Semua kertas-kertas disana nampaknya penting sekali. Kutahu itu dari ucap-ucap lelaki tua itu, “Jangan ada yang berani masuk ruangan ini tanpa izin saya” Kalimat itu selalu keluar tiap kali pengawalnya menemuinya di ruangan ini.

Entah apa yang membuatnya sangat melindungi ruangan ini. Pernah suatu kali kusaksikan sendiri seorang gadis molek dengan kulit halus dan mata sempit mencoba masuk ke ruang ini. Alang kepalang marahnya, dua tamparan mendarat di wajah belia nan jelita itu. Tak tahulah siapa perempuan muda itu, bisik-bisik yang kutahu ia didatangkan dari negeri leluhur sang tuan. Istilahnya barang cungko’. Bukan lokal pokoknya.

Adakalanya lelaki mandul tak beranak itu, membawa kawan-kawannya ke ruang pengap ini. Bukan kawan-kawan biasa tentunya. Hanya orang-orang luar biasa yang bisa masuk ke ruang ini. Sebagian mereka berpangkat, sebagian lagi saudagar yang menyebar di sepanjang benua. Tak jarang para jawara juga berkumpul di ruang sempit itu. Aneh memang sang tuan ini, semua keputusann penting katanya harus lahir dari ruangan ini. Ia hanya akan membuat keputusan penting baik itu menyangkut uang, nyawa bahkan politik, ya di ruang kecil ini.

Suatu hari, tahulah aku mengapa sebegitu penting dan sakralnya ruangan ini. Hari itu seorang pria berbadan tegap dengan baju serba coklat dan tiga bintang melekat dibahunya bertanya pada lelaki setengah abad itu mengenai mengapa ruang kerjanya seperti ini. Lelaki tua setengah abad itu dengan mata berkaca menjelaskan, bahwa ruang ini adalah kamar pertamanya ketika tiga puluh delapan tahun lalu menjejak kaki di ibukota. Dari Singkawang ia datang, tanpa keluarga tanpa tujuan. Berbekal uang dua belas ribu di kantong ia menyewa kamar. Di kamar itulah ia memulai hidup di ibukota.

Semua tak mudah pada masa awal itu. Begitu lelaki setengah abad itu melanjutkan kisahnya di kesempatan lain. Kala itu yang datang seorang jawara yang menguasai dunia gelap di ibukota. Ia memulai langkah di ibukota dengan mengumpulkan kardus bekas di Mangga Besar sana. Tiga tahun melakukan itu, uang hasilnya hanya cukup untuk menyewa kamar kecil ini dan makan sekali dua sehari. Sampai suatu hari ia ditawari bekerja di sebuah toko elektronik terkemuka. Tak butuh waktu lama, ia menjadi orang kepercayaan pemilik toko. 

Tujuh tahun usai itu, mulailah ia menapaki sendiri bisnisnya. Alang kepalang besar bisnisnya, tumbuh seiring pergaulan baiknya dengan banyak orang penting. Mulai dari penyedia perempuan telanjang sampai penyelamatan harimau ia lakukan. Tak kurang dari seribu kaki tangannya memasarkan serbuk putih nikmat di tiga puluh dua negara di dunia. Tak terelakkan kaya rayanya tuan besar kami ini. Cukup empat belas tahun saja ia melarat, sisanya ia mendekati takdir sebagai dewa. Bisa menentukan hidup matinya seseorang, bisa menentukan siapa yang memimpin dan siapa yang kalah.

Ah, entah untung, entang buntung. Lima tahun tergeletak di ruang pengap ini. Aku mulai lupa darimana berasal, untunglah ditubuhku tercantum tempat dimana aku dihadirkan. Tak jauh dari sini asalku. Di sebuah pabrik kertas di Semarang aku diciptakan, yang kutahu bahan bakuku saja didatangkan dari anak benua Asia, wewangian yang menyelimuti tubuhku dibawa dari negeri Gujarat sana. Lima tahun aku disini wangiku tak hilang. Bersama puluhan ribu lembar kawan-kawan, kami terdampar di rumah the godfather. Entah untung, entah buntung.

Pernahlah tiga tahun lalu, kami ketakutan tiada ampun. Tuan besar tiba-tiba masuk ruang ini tengah malam, ia hendak membakar kami semua, tak terkecuali apapun disini. Untung saja seorang lelaki tegap dengan empat bintang di bahunya datang. Ia berjanji akan menghabisi seseorang yang membuat tuan besar kami sangat marah. Tuan besar kami dituduh macam-macam oleh orang itu. Marah betul dia. Akhirnya, sebuah foto ia serahkan ke lelaki tegap berbintang empat itu. Seorang lelaki berkacamata dengan kamera di tangan menggandeng seorang anak lelaki kecil. Dua hari dari kejadian itu, tuan kamipun tersenyum lebar sembari membaca sebuah koran. Ah, tenanglah kami, tak jadi dibakar. Gambar lelaki dengan darah di kepala tercetak di Koran itu..

Entah untung, entah buntung. Lima tahun di ruang pengap ini membuatku merasa dekat dan mengenal tuan besar kami ini. Meski aku tertumpuk di bagian paling bawah, tapi aku dengan mudah bisa mengamati tiap peristiwa disini. Diam-diam aku lebih mengenal lelaki setengah abad itu tinimbang teman-teman setumpukanku.

Malam ini, malam terakhirku. Warna merah menyalaku belum pudar sedikitpun meski aku ditumpukan paling bawah, wangi tubuhku pun belum terkuras. Hanya sedikit debu yang menyelimuti. Entah kemana besok aku akan berlabuh. Tapi lima tahun di ruang pengap ini membuatku tahu banyak hal. Tak seperti kawan-kawanku yang memlih tak peduli. Aku begitu tertarik dengan kisah-kisah yang ada menyangkut tuan besar. Mungkin karena aku tertindih di tumpukan paling bawah, jadilah aku mencoba menghindari sakitku dengan memperhatikan kisah dan cerita tuan besar itu.

Tuan besar sama sekali tak peduli dengan kami, hanya saat-saat perayaan seperti ini saja ia tiba-tiba mengelus-elus kami. Memasukkan lembar-lembar bernilai itu dengan tangan kasarnya sendiri. Antara penasaran dan rasa sedih, malam terakhir ini aku tak bisa terlelap. Esok hari aku akan dibawa ke tempat sembayang, usai itu aku tak thau lagi kemana nasibku. Setahuku tiap dari kami pergi tak ada satupun yang kembali.
Aroma di ruang ini sangat kuhafal, bahkan aku mulai hafal tiap sudutnya. Dimana tuan besar meletakkan peluru pistolnya, dimana ia menyimpan pena pemberian presiden dan dimana ia menyimpan foto-foto perempuan pujaan hatinya, aku tahu semua. Tak terkecuali kertas-kertas berharga bernama saham atau apalah itu. Aku hafal dimana ia meletakkannya. Meski aku tak pernah bercakap-cakap dengan penghuni ruangan ini. Tapi aku tahu pasti bahwa mereka semua istimewa di mata tuan besar kami. Paling tidak seminggu sekali mereka disapa tuan kami. Berbeda dengan kami, setahun sekali saja.

Entah untung, entah buntung. Lima tahun aku bersama lelaki setengah abad itu. Esok aku akan pergi. Ah, apa yang akan terjadi, terjadilah.
***

Pagi-pagi sekali tuan besar kami telah terbangun. Lebih pagi dari hari-hari biasa. Baju indah dipenuhi hiasan naga ia gunakan. Warnanya pun terang menyala. Wewangian khas negeri leluhur sang tuan besar juga tecium semerbak. Kamipun ia letakkan di tas kecil yang ia bawa.

Kali pertama ini aku melihat dunia lain. Dalam sebuah mobil cantik dengan jendela-jendela lebar dan pint-pintu yang banyak kami digeletakkan saja di jok. Tuan besar ditemani istri tuanya, yang tentu saja tak semolek gadis-gadis bermata sempit yang biasa ia pandangi di foto-foto yang tersimpan di ruangan itu. Tak lama kemudian sampailah kami di tempat sembayang

Wooow, ramai sungguh tempat sembayang ini. Orang-orang berkerumun, warna warni busana mereka, tua muda, laki-laki perempuan, semua bergerombol. Di depan pintu tempat sembayang itu, anak-anak kecil berbaju kumal berbaris panjang. Entah apa yang mereka lakukan. Tuan besar kami masuk ke ruang tengah tempat sembayang itu. Ia bakar sesuatu yang berbentuk lidi, lalu khidmat berdoa. Tak lama hanya beberapa menit saja. Entah apa yang ia doakan.

Semua orang di tempat sembayang itu seperti mengenali lelaki setengah abad itu. Tak sedikit di antara mereka mencium tangan tuan besar kami ini. Usai memasang kertas doa di pohon doa, tuan besar kami bergegas keluar. Di antara anak-anak berbaju kumal itu kini ia berdiri. Satu persatu di antara kami diserahkan ke anak-anak itu. Sekarang giliranku.. Sebuah tangan halus tapi legam menggenggamku sekarang. Anak itu berwajah bulat dan bermata besar dengan rambut lurus tak terurus. Sementara itu, tuan besar yang kukenal selama lima tahun itu kian menjauh. Pelan tapi pasti mobil tuan besar kami tak nampak lagi.

Di tangan anak kecil inilah sekarang takdirku. Ternyata aku bukan yang pertama ada, tiga kawanku telah lebih dulu tiba di kantong anak kecil ini. Usai satu lagi kawan kami datang, kantong anak kecil berbaju kumal itu penuh. Berlari riang, pulang dia. Di depan sebuah rumuah kecil berhimpit, dengan halaman yang tergenang air anak itu memanggil seseorang. “Emak…mak, aku banyak dapat angpao ini..” Dari tangan anak kecil itu, kini aku berpindah ke tangan seorang ibu yang tak bisa dibilang muda tapi belumlah terlalu tua. Dari tangan perempuan itu kami digeletakkan di atas sebuah meja kayu yang lapuk. Tepat di samping sebuah dipan tua yang kayu-kayu penopangnya mulai tak kokoh. Dinding kamar itu bukan dari dinding semen seperti tempat tuan besarku dulu. hanya triplek tipis saja, angin kurasakan menerobos masuk dari sela-sela triplek yang tak rapat.

Ah, disini rupanya takdirku akan berakhir. Selintas kulihat sebuah foto terpajang di dinding kamar ini. Ya, foto yang sama dengan yang pernah kulihat tiga tahun lalu, di ruang gelap milik tuan besarku.

Gong Xi Fat Chai
*Teruntuk Pak Boss TiWi

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts