Tawa-tawa renyah diiringi kelakar[i] khas Melayu
menjadi pembuka petang. Pembeli berdatangan, senyum-senyum pedagang pun
merekah. Tawar menawar menghiasi suasana Pasar Empat Enam. Ya, empat enam. Aneh
memang namanya, tapi itu merujuk pada jam bukanya, empat petang hingga jam
enam.
Lokasinya di salah satu sudut Kota Jambi, tepatnya
di jalan menuju jembatan Aur Duri yang melintasi Sungai Batanghari. Kalau Adzan
Ashar usai, keriuhan pun dimulai. Pedagangnya kebanyakan adalah penduduk dari
desa-desa sekitar, ada yang datang dari Jambi Seberang ada yang dari Selincah
dan lainnya. Dagangannya khas sekali, mulai dari buah yang ditanam di kebun
sendiri sampai hasil sungai yang memang menjadi andalan.
Kebanyakan masih dalam keadaan segar-segar dan
menarik hati untuk menawar. Beberapa produk pangan yang sangat sulit ditemui di
tempat lain justru dengan mudah didapati di pasar ini. Kebanyakan adalah produk
khas nusantara dan jadi favorit sebagian kita. Mau tahu apa saja itu ? yuuk
kita simak !
Kabau,
begitu orang Melayu menyebutnya. Nama ilmiah untuk spesies satu ini adalah Archidenron microcarpum. Bentuknya unik bulat
kecil dengan sisi yang melingkar persis ban mobil tapi dalam ukuran yang super
mini. Warnanya hitam kecoklatan. Di beberapa tempat di Sumatera kabau juga
dikenal dengan sebutan jering. Bahkan di Jambi, tepatnya di Kabupaten
Sarolangun ada desa namanya Lubuk Jering, yang artinya di desa itu dulu ada
lubuk yang banyak sekali pohon jering. Kalau soal rasa, jangan tanya. Mantap
sungguh. Sebagai lalapan teman makan nasi. Rasanya ‘sebelas dua belas’ saja dengan jengkol, hanya saja bentuknya yang
mungil membuatnya enak dikunyah sebagai lalapan
Berikut
kandungan dalam 100 gram kabau[ii] ;
Jumlah
Kandungan Energi Kabau =
199 kkal
Jumlah
Kandungan Protein Kabau = 6,4 gr
Jumlah
Kandungan Lemak Kabau =
1,1 gr
Jumlah
Kandungan Karbohidrat Kabau = 41
gr
Jumlah
Kandungan Kalsium Kabau =
40 mg
Jumlah
Kandungan Fosfor Kabau =
108 mg
Jumlah
Kandungan Zat Besi Kabau =
1,8 mg
Jumlah
Kandungan Vitamin A Kabau = 0
IU
Jumlah
Kandungan Vitamin B1 Kabau =
0,03 mg
Wah-wah ternyata si mungil hitam ini punya kandungan energi dan kalsium yang lumayan tinggi ya. Di pasar empat enam ini, kabau biasanya dijual per canting, tapi ada yang menjual perkilo.
Nah, lain kabau lain pula petai atau yang
sehari-hari disebut pete. Kalau yang
ini sebagian kita pasti sudah kenal, warna hijau dan bentuknya yang khas pasti
mudah kita kenali. Ketenaran petai rasanya sudah menusantara, petai hampir
dikenal dimana saja. Di Pasar Empat Enam biasanya petai dijual dengan cara yang
unik, yaitu digantung berjejer di pinggir jalan sehingga tiap mata yang
memandang langsung jatuh hati. Petai ini biasanya dijual per ikat, isinya
antara sepuluh sampai dua puluh papan
petai.
Terasa asing ya dengan sebutan papan ? begitulah Orang
Melayu menyebut petai dalam satuannya. Jadi satu petai utuh itu disebut papan,
dalam satu papan itu biasanya ada belasan biji petai. Ayo yang suka petai coba
acung tangan ? J Banyak yang malu ya ngaku suka pete ? Yup, benar adanya, konsumsi petai
membuat bau mulut kurang sedap. Tapi biasanya akan hilang dengan sendirinya
setelah gosok gigi. Kalau kami di tanah Melayu, ada anekdot tentang bau petai
ini. “Kalau mau menghilangkan bau petai, makan saja jengkol, pasti bau petainya
akan hilang.” J
Ngomong-ngomong soal jengkol, di Pasar Empat Enam tersedia
juga. Kalau jengkol, saya yakin kita semua paham kan. Ada semur jengkol,
kerupuk jengkol, lalapan jengkol dan berbagai variasi masakan berbahan jengkol
kita kenal di tanah air. Oh iya sambal jengkol juga ada. Begitu pun pete, sambal pete juga terkenal. Kalau
di Palembang atau Jambi biasanya sambal petai disampur dengan ati ayam atau
juga ikan teri. Ehm, maknyuss
pastinya. Apalagi di santap dengan nasi yang masih hangat.
Sekarang kita bicara soal ikan, yang jadi andalan
Pasar Empat Enam. Ikan-ikan lokal yang begitu khas seperti gabus, tebakang,
toman dan juga udang-udangan tersedia disini. Harganya memang lumayan, tapi
biasanya konsumen puas karena ikan dna udangnya masih dalma keadaan segar,
bahkan sebagian besar masih hidup.
Kita mulai dengan udang, disini tersedia apa yang
dikenal dengan udang satang, biasanya
kebanyakan kita mengenalnya dengan udang galah. Bukan hanya daging udangnya
mantap, tapi galah atau bagian tubuh udah yang menyerupai satang, dagingnya juga lezat. Tapi memakannya harus hati-hati
karena ada duri-duri kecil membungkus dagingnya. Ehm, kalau udang ini dijadikan
pindang, atau dijadikan menu udang bakar mentega, atau udang saus tiram. Ugh,
pastilah yang tadinya tak berselera makan langsung berselera.
Ikan gabus dan ikan toman bentuknya nyaris sama,
bersisik dan kepalanya yang lonjong memanjang juga mirip. Perbedaannya biasanya
pada warna. Ikan gabus cenderung lebih gelap warnanya, sedang toman agak putih.
Dagingnya kerap dijadikan bahan dasar pembuat empek-empek. Ada yang suka
empek-empek ? Atau jangan-jangan ada yang belum pernah makan empek-empek ? Wah,
kalau belum pernah mencoba, kamu harus coba deh. Dijamin ketagihan.
Nah, kalau ikan tebakang, ini lebih khas lagi. Sudah
jarnag ditemui, bentuknya mirip ikan sepat, tapi warnanya biasanya lebih cerah
dan duri di dekat kepalanya sangat tajam. Si Sungai Batanghari atau di Musi,
ikan jenis ini masih banyak ditemui. Hanya saja, ikan ini biasanya tak terlalu
diminati, karena agak sedikit menyimpan bau lumpur di tubuhnya. Memang ikan
jenis sepat, betok, atau tebakang
kerap menjadi lumpur tempat mereka berlindung.
Pokoknya, kalau kawan-kawan mampir ke Jambi, wajib
singgah di Pasar Empat Enam. Memang bukan destinasi andalan wisata di Jambi,
tapi kalau ingin merasakan kejayaan pangan lokal kita, ya disini tempatnya.
Tempat dimana pangan lokal masih menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Nyaris
tak akan kawan-kawan temui produk pangan impor di pasar ini.
***
Jika merujuk pada Undang-undang nomor 18 tahun 2012
tentang pangan, maka kita akan mengenal tiga konsepsi penting ;
Kedaulatan
Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri
menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang
memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan
sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Kemandirian
Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam
memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin
pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan
memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan
lokal secara bermartabat.
Ketahanan
Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara
sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau
serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk
dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Tiga konsepsi ini memiliki derajat fungsi yang
berbeda. Ketahanan pangan lebih berfungsi sebagai sarana memastikan tidak
terjadinya kekurangan pangan, darimana sumber pangan tersebut tidak terlalu
masalah. Impor atau produk sendiri tak masalah. Sedangkan kemandirian pangan
lebih memiliki derajat fungsi yang penting, dalam bahasa lain inilah swasembada
pangan. Sebagai negara dna bangsa kita bisa memenuhi kebutuhan pangan kita
sendiri. Sedangkan kedaulatan pangan lebih berfungsi politis, semua upaya
menjaminkan martabat kita sebagai bangsa prihal pangan.
Tulisan ini lebih mengacu pada kemandirian pangan.
Potret Pasar Empat Enam adalah potret sebuah komunitas yang berupaya membangun
kemandirian pangan mereka. Mereka menanam atau mencari sendiri produk pangannya
dan mendistribusikannya sendiri.
Realitas di Pasar Empat Enam memang nampak sangat
mikro, tapi realitas mikro macam inilah yang pada akhirnya membangun realitas
makro pangan kita. Di tengah gempuran produk impor, Pasar Empat Enam mencoba
melawan. Coba kita pasati jumlah impor produk pangan kita ;
Tabel Impor Produk Pangan Tahun 2012[iii]
Produk Pangan
|
Jumlah (Dalam Ton)
|
Nilai (USD)
|
Beras
|
1,8 juta
|
945,6 juta
|
Jagung
|
1,7 juta
|
501,9 juta
|
Ikan dan Udang
|
15,8 juta
|
412,3 juta
|
Kedelai
|
1,9 juta
|
1,2 miliar
|
Kentang
|
54,1 ribu
|
36,4 juta
|
Garam
|
2,2 juta
|
108 juta
|
Tepung Terigu
|
479,7 ribu
|
188,8 juta
|
Biji Gandum
|
6,3 juta
|
2,3 miliar
|
Singkong
|
13,3 ribu
|
3,4 juta
|
Daging Sapi
|
40,3 ribu
|
156 juta
|
Data di atas belum semua data impor pangan kita.
Kita masih jauh dari kemandirian pangan. Ada beberapa hal yang menjadi picu
kondisi ini;
Pertama,
angka produksi pangan dalam negeri kita belum mampu mengimbangi jumlah
kebutuhan dalam negeri.
Kedua,
proteksi
harga yang tidak dapat lagi dilakukan pemerintah di era pasar bebas. Membuat
produk pangan impor kadnag lebih murah dari produk pangan lokal. Intervensi
asing dalam kebijakan sektor pangan makin terasa, apalagi pasar bebas
mensyaratkan ketiadaan proteksi.
Ketiga,
gaya hidup penduduk kita yang lebih senang dan bangga mengonsumsi produk pangan
impor.
Tentu masih ada faktor-faktor lain, tapi tiga faktor
di atas menjadi picu utama belum berhasilnya negeri kita menjadi negeri yang
berkemandirian dan berdaulat dalam bidang pangan. Sebagai konsumen pangan, yang
bisa kita lakukan adalah tetap mencintai dan mengonsumsi produk pangan lokal.
Sehingga faktor ketiga di atas bisa dikurangi.
***
Kembali ke Pasar Empat
Enam. Menelusuri satu persatu bilik-bilik rapuh pedagang di Pasar Empat Enam
membuat sebuah kesadaran baru. Kesadaran yang meyakinkanku pangan lokal kita
masih berjaya. Kami yang pernah singgah di Pasar Empat Enam merasakan itu
dengan nyata.
Pasar Empat Enam seolah
menjadi benteng kemandirian pangan kita, semoga benteng-benteng macam ini masih
pula berjaya di semua sudut nusantara. Pasar-pasar modern sudah dijejali dengan
produk pangan impor, semoga saja entitas macam Empat Enam akan selalu menjadi
benteng pertahanan terakhir pangan lokal kita. Masalahnya, konsumen kita hari
ini terutama di perkotaan mulai enggan berjibaku di pasar-pasar tradisional
macam empat enam. Mereka lebih memilih kenyamanan khas pasar modern yang
biasanya dikuasai produk impor.
Pertanyaannya kini,
relakah kita menyaksikan produk pangan lokal kita menjadi tamu di negeri
sendiri ? kalau tidak ! Mari kita mencintai dan mengunsumsi pangan lokal.
[i] Kelakar adalah sebutan untuk keadaan
saling bercanda yang biasanya mengundang tawa dari yang mendengar. Istilah ini
banyak digunakan di Sumatera Selatan dan sebagian Jambi.
[ii] Sumber :
Publikasi Kementerian kesehatan RI yang ditulis ulang di www.organisasi.org, diakses pada 4 April
2014, pukul 18.55 WIB
[iii] Diolah dari
laporan BPS tahun 2013, http://www.koran-sindo.com/node/338484
dan http://beranda.miti.or.id/10-bahan-pangan-indonesia-masih-impor/
Keterangan Photo :
Foto 1 : Kabau/huzer apriansyah
Foto 2 : Petai/huzer apriansyah
Foto 3 : Jengkol/huzer apriansyah
Foto 4 : Udang satang/huzer apriansyah
Foto 5 : Ikan tebakang/huzer apriansyah