dimana kita selaku kolektivitas bangsa tersesat ?dan
dimana
sebenarnya akar-akar keberadaan Republik Indonesia,
serta
esensi motivasi dan watak perjuangan aslinya.
Demi suatu pemikiran ke arah mana rupa-rupanya
perbaikan
pantas dan perlu dicari oleh masyarakat dan negara
kita”
(Y.B. Mangunwijaya dalam kata pengantar buku Menuju Republik Indonesia Serikat)
***
Gerimis tipis menghentikan laju motorku, singgah
sejenak di warung penyedia penganan di ujung jalan. Beberapa ibu-ibu berbincang
renyah sembari menunggu pesanan gado-gado dan nasi gemuk khas melayu. Terusik
telingaku untuk mendengar percakapan mereka, ibu-ibu bicara pemilu. Seru juga,
batinku. Seorang ibu “Kalu kito betino
nih meleh caleg betino pulok,” seorang ibu meyakinkan yang lainnya penuh
semangat. Kalau kita perempuan harus milih calon legislatif perempuan juga.
Ibu yang lainnya meragukan opini itu. “Ngapo pulok nak milih betino ?” Nada
ragu mengiringi pertanyaan itu. “Mano lah
wong lanang nak ngerti urusan kito betino. Misalnyo hargo beras naik, kito
betino nak padek-padek ngatur duit biar kebutuhan keluarga cukup, lanang
manolah tahu. Jadi kalo lanang yang jadi wakil kito, dak peduli nian mereka tuh
dengan kenaikan hargo.” (Bagaimanalah kaum lelaki mau mengerti urasan kita
perempuan. Misalnya harga beras naik, kita perempuan yang harus pandai mengatur
keuangan agar kebutuhan keluarga cukup. Kaum laki-laki mana lah mau tahu. Jadi
kalau lelaki yang jadi wakil kita, tak terlalu pedulilah mereka dengan urusan
naiknya harga). Ibu itu memberi argumentasi.
Kuseruput teh khas Kayu Aro (Kerinci), ada benarnya
juga apa kata ibu itu pikirku. Tak selamanya kaum laki-laki memahami kesulitan
perempuan menghadapi kesulitan hidup. Ketika harga-harga melambung,
perempuanlah yang merasakan dampak secara langsung. Bukan ingin meletakkan perempuan
pada posisi domestik yang tidak adil sebatas sumur-kasur-dapur. Tapi realitas
di negeri ini perempuanlah yang banyak bertanggung jawab dalam manajemen
keuangan keluarga. Sehingga ketika harga-harga naik, maka perempuan yang pusing
tujuh keliling memikirkan bagaimana kebutuhan keluarga semuanya terpenuhi.
Sedangkan laki-laki cenderung sedikit tak terdampak langsung dengan keadaan
kenaikan harga tersebut.
Hal di atas sekedar contoh bagaimana sensitivitas
perempuan terkadang lebih tinggi terkait kebijakan publik yang berimplikasi
lebih luas. Kalimat-kalimat Romo Mangunwijaya di atas dan percakapan pagi
ibu-ibu di warung penganan telah membuka mataku, bahwa di tengah keterpurukan
Indonesia hari ini, tak lantas kita menyerah, melainkan perlu mencari lagi akar
kekuatan bangsa ini. Perempuan ! yup perempuan, bisa jadi inilah akar kekuatan
negeri ini.
Mengapa perempuan ? sejarah mencatat tokoh-tokoh
lelaki begitu dominan dalam perjalanan bangsa ini. Tapi bukan berarti perempuan
tak banyak perannya. Masalahnya perempuan cenderung jauh dari panggung sehingga kerap dilupakan
sejarah. Lihat saja pada masa perjuangan kemerdekaan siapa yang menjadi
mata-mata efektif untuk pejuang republik, ya perempuan. Meski untuk itu
terkadang mereka harus menanggung penderitaan dan malu. Tapi sejarah tak
mencatat itu sebaga hal penting, apalagi menisbatkan perempuan-perempuan itu
sebagai pahlawan nasional. Belum lagi bagaimana peran perempuan dalam
memastikan logistik pejuang. Tapi sayang, mereka hanya menjadi deretan tak
bernama, yang dilupakan sejarah.
Coba kita kenang lagi perjalanan kita mulai dari
taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Rasa-rasanya tak ada diantara
kita yang tak dipengaruhi oleh guru-guru yang sebagian besar perempuan. Makanya
istilah “Bu Guru” lebih akrab bagi kita semua tinimbang “Pak Guru”, resonansinya berbeda. Ada sedikit janggak
dengan Pak Guru. Sebagian kita dididik dengan gigih oleh ibu-ibu guru. Lantas,
apakah sejarah mencatat itu ? tidak. Seajrah cenderung masih sangat maskulin.
Lantas saya berpikir andai senayan dikuasai tujuh
puluh persen saja perempuan, mungkin gedung parlemen kita tak akan mungkin
disebut “sarang koruptor” seperti sekarang. Bahwa ada perempuan di parlemen yang
terlibat korupsi, iya. Tapi pertanyaannya mereka benar-benar pelaku atau
sekedar korban karena ketidaktahuan mereka sedang dimanfaatkan ?
Pada titik ini saya meyakini perempuan
memilki potensi mengubah negeri ini. Hingga pada akhirnya menyitir kalimat Romo
Mangun “... pemikiran ke arah mana
rupa-rupanya perbaikan pantas dan perlu dicari oleh masyarakat dan negara kita”
Benar-benar bisa ditentukan secara akurat dan pada akhirnya diimplementasikan
secara bertanggung jawab. Saatnya perempuan memimpin negeri ini, bukan sekedar
simbolik tapi secara haqiqi.
***
Gerimis hilang, aku pun hengkang dari warung
penganan menuju tempat kerja. Sebuah kesadaran baru muncul, kesadaran perempuan
di parlemen. Sekian lama aku melupakan akar kekuatan bangsa ini. Kupastikan
satu suaraku di DPR untuk caleg perempuan.