“Aku
membenci masa lalu !”
Kuteriakkan kalimat itu
sejadi-jadinya. Suasana sepi. Angin yang berhembus pelan dan daun-daun yang
tersapu membuat teriakkanku seperti gemuruh.
Bayang-bayang
wajahmu saat mengakhiri hubungan kita membekas dalam, aku benci mengenang itu.
Tujuh tahun sudah berlalu, tapi nyeri itu masih berdenyut hingga kini.
Gelap mulai
merapati langit. Mentari mulai rebah. Kilaunya memberi kesan keemasan di
dinding candi Cetho. Dua jam sudah
aku termangu di pelataran candi yang gagah tapi indah ini. Daun-daun yang
tanggal dari pohon-pohon besar di sekitar Candi menjadi semacam teorema senja.
Aku mengenangmu, Gita. Walau luka aku tak bisa menanggalkan kenangan tentang
kita.
Andai perpisahan
kita tak pernah ada. Petang ini mungkin kita berdua sedang
menikmati senja
disini. Ah, kau sebagai Dyah Gitarja dan aku Cakradhara. Dua sejoli yang
mahsyur di masa lalu nusantara. Dyah Gitarja itu ratu bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi,
sedang Cakradhara, adalah pejuang cinta. Lelaki tangguh yang merebut cinta Dyah
Gitarja melalui kompetisi sengit dengan banyak pemuda.
Aku memang tak setangguh Cakradhara,
tapi aku punya cinta yang tangguh untukmu. Gita, kalau saja dirimu tahu betapa
cinta ini tak terperihkan. Ah, sudahlah, tiap cinta punya takdirnya. Semoga kau
bahagia, dimanapun dirimu ada dan mengada.
Ilustrasi by : urbansketchers-indonesia.blogspot.com