“Luka hati karena
kematian, lebih mudah diterima dan diobati, bukan begitu ?” Aku bertanya
pada diri sendiri. Pesan terakhir yang kau kirim masih membekas, seperti pisau
dapur berkerat yang menggores kulit. “Berhenti
hubungi aku !” Kalimat itu membunuh asa yang berlahan tumbuh dan kurawat
agar tak rapuh.
***
Rinai gerimis memulai pagi, suara
burung-burung mungil membangun romansa tersendiri. Di ujung telpon kau katakan
kau sakit. Sedari kemarin kau memang tak enak badan, tapi hari ini keadaanmu
sepertinya begitu rapuh, aku mulai gelisah tak menentu. Dulu aku kehilangan
kekasih tercinta karena sakit, aku tak mau itu terulang lagi.
Kupacu motor tuaku, berharap bisa
memastikan keadaanmu, sebelum tiba di gang rumahmu kubelikan sarapan yang
kuharap kau suka, gado-gado. Sengaja tak hubungi dulu dirimu, berharap sedikit
kejutan di pagi lembab itu.
Aku tahu kau memang malas makan,
kalau ketemu aku harus memaksa-maksa dirimu untuk makan, baru kau mau. Itupun
pakai kata-kata ‘ancaman’, “Kalau emang
sayang aku, kamu harus makan,” biasanya kau akan makan, walau Cuma sesendok
dua. Lumayan membuatku legah. Meski kau tak bercerita detil, aku tahu kau
sakit, aku tahu kau tengah menanggung beban yang tak ringan. Aku tak mau hanyut
dalam pikiran-pikiran burukku, aku hanya berusaha meyakinkan diri bahwa kau
akan baik-baik saja. Aku berjanji akan menjagamu sampai kapanpun. Hati ini
terlanjur berlabuh di hatimu. Ah lebay,
pasti itu jawabmu kalau aku bicara soal ini. Yup, aku juga merasa ini lebay dan
berlebihan, tapi sulit mencari kalimat lain yang mewakili isi hatiku.
Gado-gado dengan sayuran segar
dan gak pedas sudah ada di tangan. Kugegas kembali motorku, terbayang kau akan
memakan gado-gado ini dengan lahap. Di depan gang rumahmu, aku mencoba
menghubungimu. Tak berbalas, hanya nada sambung yang tak kunjung diangkat
mewarnai penantianku. Tak lah berani aki langsung ke rumahmu, ibumu akan marah
atau salah-salah mengusirku. Aku tahu itu dari cerita-ceritamu. Aku kirim
beberapa pesan untukmu, kusandarkan motor dan mencoba menunggu sembari
membayangkan kalau kau mungkin sedang mandi atau sedang nyuci atau apa saja
yang membuatmu tak bisa mengangkat telponku dan membalas pesanku.
Teringat hari-hari pertama kita
berjumpa dulu. Perjumpaan yang tak romantis, bahkan cenderung anarkis. Ya, aku
membencimu ketika itu. Aku berpikir kau tak lebih dari gadis kebanyakan; manja,
memandang orang sebelah mata dan merasa paling cantik sedunia. Puiihhh, mengesalkan jika mengenang
perjumpaan pertama di halte bus berdebu itu. Tapi cinta datangnya tak pernah
bisa disangka, tiba-tiba dan terjadi begitu saja.
Kau menyebutku orang terjutek
sedunia, smsku singkat, jawabannya kasar dan cenderung pemarah. Itu katamu
dulu. Kulakukan itu karena memang aku tak suka perjumpaan pertama kita dulu.
Kau hanya gadis angkuh, pikirku. Tapi entah kenapa, keping-keping rindu tumbuh,
banyak hal yang akhirnya mendekatkan kita. Sebuah rasa yang tumbuh begitu saja,
tanpa disuruh dan tanpa direncanakan, ya begitu saja.
Kalau kau tanya, mengapa
mencintaimu. Aku tak tahu, aku tak bisa mendeskripsikan alasannya, aku hanya
bisa menjalaninya dan menunjukkan betapa rasa itu ada dan nyata.
Rinai gerimis luruh, matahari
kian meninggi, tiga puluh menit sudah aku menantimu. SMS tak berbalas, telpon
tka berjawab. Ah, aku takut ada apa-apa denganmu. Hampir tiap hari kau mengeluh
tentang kesehatanmu, aku mulai resah, ingin rasanya memaksakan diri ke rumahmu. Tapi
aku tahu kau tak akan suka itu. Karena pasti kau akan menerima amarah ibumu.
Aku memilih menunggu, berharap, kau hanya sedang tak sempat saja membalas
pesanku.
Kutatap bungkusan gado-gado yang
tergantung di spion motor. “Untung aku memisah bumbu gado-gado itu,” batinku. Perjumpaan
kita memang belum lama, enam bulanpun rasanya belum, tapi semua mengalir begitu
laju. Kau gadis pertama yang kucium bibirnya. Kau gadis pertama yang membuatku
merasa ada alasan untuk bertahan lama di dunia. Lebay ? ya, pasti kau akan bilang “bohong banget”. Aku tak pernah
bisa meyakinkanmu, tapi aku memang tak mau memaksamu untuk percaya semua itu.
Biarkan waktu yang akan menjawab semua ragumu, selalu itu kesimpulanku.
Satu jam sudah aku menunggu,
kukirim kembali pesan untukmu. Tetap tanpa balasan. Aku menyerah, mungkin kau
sedang marah denganku. Kuputar haluan motor, kuputuskan untuk menghubungimu
nanti siang.
***
Jelang tengah hari sebuah pesan
darimu masuk ke Hapeku, tercengan dan tak percaya aku membaca pesan darimu.
Sebuah psan yang membunuh semua asaku. Air mataku merambat pelan di sudut mata.
Henya sedemikian rasa yang kau punya untukku. Sedemikian mudah semua kau
akhiri. Sejatinya aku menolak menjadi lelaki lemah, yang terpuruk karena
kepergian seorang perempuan. Tapi aku gagal melawan rasa luka yang sedemikian
membekas dalam.
Kulirik bungkusan gado-gado yang
sedianya untukmu. Sembari berbisik lirih dalam hati, “Semoga kau bahagia dan
sehat selalu, bidadariku !”
Ilustrasi diambil dari karya : Nanda Fitri
sumber ilustrasi : https://thegirlwithbrokenwings.wordpress.com/tag/sketch/
sumber ilustrasi : https://thegirlwithbrokenwings.wordpress.com/tag/sketch/