Saturday, April 19, 2014

  • April 19, 2014

Luka hati karena kematian, lebih mudah diterima dan diobati, bukan begitu ?” Aku bertanya pada diri sendiri. Pesan terakhir yang kau kirim masih membekas, seperti pisau dapur berkerat yang menggores kulit. “Berhenti hubungi aku !” Kalimat itu membunuh asa yang berlahan tumbuh dan kurawat agar tak rapuh.
***
Rinai gerimis memulai pagi, suara burung-burung mungil membangun romansa tersendiri. Di ujung telpon kau katakan kau sakit. Sedari kemarin kau memang tak enak badan, tapi hari ini keadaanmu sepertinya begitu rapuh, aku mulai gelisah tak menentu. Dulu aku kehilangan kekasih tercinta karena sakit, aku tak mau itu terulang lagi.

Kupacu motor tuaku, berharap bisa memastikan keadaanmu, sebelum tiba di gang rumahmu kubelikan sarapan yang kuharap kau suka, gado-gado. Sengaja tak hubungi dulu dirimu, berharap sedikit kejutan di pagi lembab itu.

Aku tahu kau memang malas makan, kalau ketemu aku harus memaksa-maksa dirimu untuk makan, baru kau mau. Itupun pakai kata-kata ‘ancaman’, “Kalau emang sayang aku, kamu harus makan,” biasanya kau akan makan, walau Cuma sesendok dua. Lumayan membuatku legah. Meski kau tak bercerita detil, aku tahu kau sakit, aku tahu kau tengah menanggung beban yang tak ringan. Aku tak mau hanyut dalam pikiran-pikiran burukku, aku hanya berusaha meyakinkan diri bahwa kau akan baik-baik saja. Aku berjanji akan menjagamu sampai kapanpun. Hati ini terlanjur berlabuh di hatimu. Ah lebay, pasti itu jawabmu kalau aku bicara soal ini. Yup, aku juga merasa ini lebay dan berlebihan, tapi sulit mencari kalimat lain yang mewakili isi hatiku.

Gado-gado dengan sayuran segar dan gak pedas sudah ada di tangan. Kugegas kembali motorku, terbayang kau akan memakan gado-gado ini dengan lahap. Di depan gang rumahmu, aku mencoba menghubungimu. Tak berbalas, hanya nada sambung yang tak kunjung diangkat mewarnai penantianku. Tak lah berani aki langsung ke rumahmu, ibumu akan marah atau salah-salah mengusirku. Aku tahu itu dari cerita-ceritamu. Aku kirim beberapa pesan untukmu, kusandarkan motor dan mencoba menunggu sembari membayangkan kalau kau mungkin sedang mandi atau sedang nyuci atau apa saja yang membuatmu tak bisa mengangkat telponku dan membalas pesanku.

Teringat hari-hari pertama kita berjumpa dulu. Perjumpaan yang tak romantis, bahkan cenderung anarkis. Ya, aku membencimu ketika itu. Aku berpikir kau tak lebih dari gadis kebanyakan; manja, memandang orang sebelah mata dan merasa paling cantik sedunia. Puiihhh, mengesalkan jika mengenang perjumpaan pertama di halte bus berdebu itu. Tapi cinta datangnya tak pernah bisa disangka, tiba-tiba dan terjadi begitu saja.

Kau menyebutku orang terjutek sedunia, smsku singkat, jawabannya kasar dan cenderung pemarah. Itu katamu dulu. Kulakukan itu karena memang aku tak suka perjumpaan pertama kita dulu. Kau hanya gadis angkuh, pikirku. Tapi entah kenapa, keping-keping rindu tumbuh, banyak hal yang akhirnya mendekatkan kita. Sebuah rasa yang tumbuh begitu saja, tanpa disuruh dan tanpa direncanakan, ya begitu saja.

Kalau kau tanya, mengapa mencintaimu. Aku tak tahu, aku tak bisa mendeskripsikan alasannya, aku hanya bisa menjalaninya dan menunjukkan betapa rasa itu ada dan nyata.

Rinai gerimis luruh, matahari kian meninggi, tiga puluh menit sudah aku menantimu. SMS tak berbalas, telpon tka berjawab. Ah, aku takut ada apa-apa denganmu. Hampir tiap hari kau mengeluh tentang kesehatanmu, aku mulai resah, ingin rasanya memaksakan diri ke rumahmu. Tapi aku tahu kau tak akan suka itu. Karena pasti kau akan menerima amarah ibumu. Aku memilih menunggu, berharap, kau hanya sedang tak sempat saja membalas pesanku.

Kutatap bungkusan gado-gado yang tergantung di spion motor. “Untung aku memisah bumbu gado-gado itu,” batinku. Perjumpaan kita memang belum lama, enam bulanpun rasanya belum, tapi semua mengalir begitu laju. Kau gadis pertama yang kucium bibirnya. Kau gadis pertama yang membuatku merasa ada alasan untuk bertahan lama di dunia. Lebay ? ya, pasti kau akan bilang “bohong banget”. Aku tak pernah bisa meyakinkanmu, tapi aku memang tak mau memaksamu untuk percaya semua itu. Biarkan waktu yang akan menjawab semua ragumu, selalu itu kesimpulanku.

Satu jam sudah aku menunggu, kukirim kembali pesan untukmu. Tetap tanpa balasan. Aku menyerah, mungkin kau sedang marah denganku. Kuputar haluan motor, kuputuskan untuk menghubungimu nanti siang.

***
Jelang tengah hari sebuah pesan darimu masuk ke Hapeku, tercengan dan tak percaya aku membaca pesan darimu. Sebuah psan yang membunuh semua asaku. Air mataku merambat pelan di sudut mata. Henya sedemikian rasa yang kau punya untukku. Sedemikian mudah semua kau akhiri. Sejatinya aku menolak menjadi lelaki lemah, yang terpuruk karena kepergian seorang perempuan. Tapi aku gagal melawan rasa luka yang sedemikian membekas dalam.

Kulirik bungkusan gado-gado yang sedianya untukmu. Sembari berbisik lirih dalam hati, “Semoga kau bahagia dan sehat selalu, bidadariku !”

Ilustrasi diambil dari karya : Nanda Fitri
sumber ilustrasi : https://thegirlwithbrokenwings.wordpress.com/tag/sketch/




Popular Posts