Monday, January 12, 2009


(Pengalaman mampu membawa manusia melangkah, kadang jauh..tak mampu ditebak sebelumnya. Tiba-tiba saja kita telah berada pada fase yang tak terduga, tiba-tiba saja ucapakan kemarin tersapu ucapan baru, janji lalu tertikam janji baru, impian dulu terhimpit impian baru...Syair di bawah kudedikasikan bagi diriku, YANG kutujukan untuk "menampar" muka keangkuhanku, kuarahkan untuk "meludahi" ketakmampuanku)
SEBUAH PAGI DI MUARA
Ketika matahari masih malu-malu di ujung horizon
Jalanan masih lengang nir suara
Kehidupan ibukota belumlah hiruk pikuk seperti biasa
Sebagian manusia Jakarta masih lelap
Tapi disini,
Di sisi lain ibukota..
Kehidupan dimulai lebih dini..
Pemuda muara telah terjaga, kantuk yang mengusikpun tak berkutik
Berbekal dayung mereka memulai hari..
Berbekal doa dan harapan perahupun di kayuh pelan melawan arus
Segera saja, aroma tajam sungai yang menghitam menusuk hidung
Tapi bagi pemuda muara, disinilah mereka menggantungkan hidup, tak peduli sampah yang berbau dan bangkai yang membusuk
Mereka kumpulkan sampah-sampah yang masih bisa di daur
Dari tepi sungai orang-orang memandang rendah kea rah perahu
Dari tepi sungai orang-orang tak peduli akan apa yang mereka lakukan di perahu
Ibukota memang terlalu angkuh untuk menyadari dan peduli pada hal-hal yang mereka anggap kecil
Tanyakan, sudahkah kita mau menyadari dan peduli ??
Rasa tak peduli, sinis dan curiga tak membuat pemuda muara surut
Perahu tetap melaju stabil, makin lama tumpukan sampah plastik, besi, alumunium, kaleng dan sebagainya memenuhi hampir separuh perahu
Pemuda muara menjadi saksi yang paling dekat dari sebuah bencana
Pemuda muara menjadi orang yang paling tahu ada apa dan bagaimana sungai-sungai ibukota..
Hitam, pekat, busuk dan menyengat..
Semua kita, tahu fakta itu
Tapi mereka tidak hanya tahu, tangan mereka berinteraksi akrab dengan hitamnya sungai
Mereka menjadi saksi keangkuhan manusia Jakarta
Mengapa hitam ?
Kenapa pekat ?
Bagaimana bisa busuk ?
Kenapa pula bisa menyengat ?
Tanyakan pada pemuda mereka, mereka punya jawaban yang bahkan tak terpikirkan oleh ahli kimia, sosiolog, pakar lingkungan atau sejenisnya..
Dengan tangan-tangan kecil mereka mencoba menghalau tiap sampah di sungai ibukota sembari mencari sumber penghidupan..
Dengan hati yang terluka mereka menerobos di pekatnya sungai di Jakarta, luka melihat sungai sumber penghidupan mereka luluh lantak ditelan keserakahan dan keangkuhan
Dengan jiwa mereka mencoba menolong bumi..
Jangankan pamrih, sadarpun mereka tidak, kalau mereka pahlawan sebenarnya
Jangankan pujian, sekedar tidak dicurigai sebagai maling jemuran saja sudah membuat mereka bahagia
Jangankan ketenaran, sekedar tidak dianggap sampah masyarakat saja mereka senang
Jauh dari kehidupan mereka, disisi lain ibukota banyak orang mengaku dan merasa pahlawan lingkungan
Berbicara kesana kemari atas nama konservasi
Berteriak lantang menyebutkan apa yang telah mereka lakukan bagi bumi
Tapi sebenarnya mereka tak terlalu peduli
Karena sebenarnya mereka sekedar menjala rupiah
Sungguh kontras..
Pahlawan sesungguhnya malah terpinggirkan
Makanpun mereka seadaanya, tapi yang mengaku pahlawan berleha-leha di restoran mewah
Rumah mereka terbuat dari triplek dan kardus, sedangkan yang mengaku pahlawan berteduh di hotel berbintang
Kehidupan mereka berlimpah penderitaan dan kepedihan, sedangkan yang mengaku pahlawan berlimpah kesenangan dan kemewahan
Anak-anak mereka hidup dalam ketidakpastian, sedangkan anak-anak mereka yang mengaku pahlawan bersenang-senang di pusat perbelanjaan
Sudahlah..memang begitulah kadang kehidupan..
Pahlawan sejati adalah mereka yang tak menyebut dirinya pahlawan, tidak haus pujian apalagi sekedar kebanggaan
Pahlawan sejati , mereka yang menggunakan cinta dan jiwa untuk berjuang, bukan gengsi apalagi apologi
Pahlawan sejati, mereka yang mendedikasikan hidup bagi kebaikan orang lain, bukan sekedar menumpuk kesenangan dan kemewahan
Pahlawan sejati, tak menyerah hanya karena kalah berkompetisi, kompetisi hanyalah sarana bukan yang utama
Pahlawan sejati, melangkah dengan hati bukan ambisi
Pahlawan sejati, memeluk perjuangan dengan kesabaran bukan keangkuhan
Definisi ini tidak kudapat dari buku filsafat atau perkataan para pejabat
Tapi kudapat dari para sahabat di sebuah kampung kumuh di ujung utara Jakarta
Malu aku rasanya….
Selama ini merasa diri berbuat banyak bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan
Padahal tak ada apa-apanya dibanding mereka
Selama ini aku sibuk berjibaku dari kompetisi ke kompetisi, tapi kerap melupakan substansi
Padahal mereka di ujung Utara Jakarta berkompetisi dengan waktu, mencegah sungai-sungai kita makin rusak.
Selama ini aku bangga dengan setumpuk teori dan pengalaman, padahal itu bukan-apa-apa dibandingkan perjuangan mereka.
Hidup memang pilihan; menjadi pahlawan sejati atau mengaku pahlawan
Juga sebuah pilihan..jadi pilihlah…
Tumbuhlah dengan cinta dan kebersahajaan..
Mekarlah dengan jiwa yang merdeka dan terbuka..
Jangan menyerah sebelum tumbuh
Jangan layu sebelum mekar
Bumi membutuhkan lebih banyak lagi jiwa-jiwa merdeka yang penuh cinta
Yang akan merawatnya …
Jalan masih sangatlah panjang dan terjal..
Siapkan hati kita…
Karena perjuangan memang tak mudah..

(Syair ini kutulis sekitar seminggu sebelum aku resmi bergabung dengan sebuah NGO konservasi nasional dengan jejaring internasional yang kuat. Syair yang kuharapkan bisa selalu jadi suar bagiku dalam melayari samudera yang penuh dengan kilau kenikmatan dan godaan kemapanan. Syair ini pernah pula kubacakan dalam malam inagurasi Bayer Young Environmental Envoys 2008)

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts