Democracy means
government by uneducated while aristocracy means government by badly educated
(Chesterton, 1931)
Sejarah preman di
nusantara bukan sebuah kisah seluas Sungai Musi. Bisalah kita sebut seluas
Samudera Hindia. Akar sejarah premanisme telah ada sejak kerajaan-kerajaan tua
nusantara dan terus bersenyawa dalam tiap episode sejarah negeri. Ketika demokrasi
menemukan momentumnya di republik kita, penggiat (baca aktivis)
kelompok-kelompok preman itupun mendapat ruang ‘bermain’ yang makin meluas.
Kepentingan pragmatis
kelompok-kelompok preman nusantara, terutama yang berbasis di ibukota tiba-tiba
bersinergi dengan kepentingan pragmatis politis para elit politik nasional. Di
lokus lokalpun kelompok yang berbasis di daerah mendapat peruntungan dari
liberalisasi politik. Tali temali kepentingan antara elit politik dan elit
preman inilah yang mengekalkan simbiosis mutualisme antara keduanya. Tak hanya
itu, korporasi juga ikut berperan menyuburkan kelompok-kelompok preman di
nusantara. Kepentingan penjagaan aset dan pengamanan investasi telah pula
melibatkan kelompok-kelompok preman. Bahkan hipotesa yang sangat ‘berani’ juga
menyebutkan bahwa aparat keamanan ikut bermain dengan kelompok-kelompok
tersebut.
Kompleksitas hubungan
berbagai kelompok kepentingan di atas menjadikan peran kelompok preman dalam
berbagai macam ‘cover’nya (misal :
kelompok kedaerahan) menjadi sangat strategis. Tak heran jika beberapa nama pentolan preman tiba-tiba menjadi aktor
politik dan atau aktor bisnis di era reformasi. Tulisan ini tak mencoba
mengulas nama dari aktor-aktor tersebut, namun mencoba melihat bagaimana posisi
kelompok-kelompok preman tersebut memainkan peran sosial dan politik mereka
saat ini.
Premanisme
di Era Demokrasi yang “Terbeli”
Hipotesa Gilbert Keith Chesterton di awal tulisan ini,
hadir lebih dari delapan puluh tahun yang lalu. Namun, dalam konteks Indonesia
hari ini, demokrasi yang menjadi pondasi kehidupan politik nasional telah
tersandera oleh pragmatisme yang cenderung mereduksi demokrasi sebatas kursi
kekuasaan semata. Di sisi lain, marjinalisasi kepentingan publik juga terjadi.
Rekruitmen politik sebagai
salah satu proses penting dalam demokrasi kini terdistorsi menjadi sarana
aktualisasi kepentingan-kepentingan elit semata. Di sisi lain, komersialisasi
suara dalam Pemilu telah ikut menjadi faktor perusak substansi demokrasi.
Kondisi ini bisalah kita sebut government
by uneducated, seperti hipotesa Chesterton di atas.
Pada titik inilah,
kelompok-kelompok preman dengan segala tamengnya menjadi sangat dibutuhkan.
Semakin semrawut sebuah tatanan sosial dan politik dan semakin tak berfungsinya
institusi hukum formal, maka semakin besarlah peluang kelompok preman
dibutuhkan.
Sebelum lebih jauh
membincang prihal preman dan premanisme, mari kita lihat definisi preman secara
etimologis. Dalam kamus online Bahasa Indonesia (www.kamusbahasaindonesia.org)
kata preman memiliki tiga definisi (1) partikelir; swasta; (2) bukan tentara; sipil (tentang
orang, pakaian, dsb); (3) Sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok,
pemeras, dsb). Meski awalnya kata preman berakar pada kata vrijman (Bahasa Belanda) yang berarti orang bebas dan cenderung
bermakna “netral”. Namun, seiring perkembangan kondisi sosio-kultural yang
mengitari entitas preman di Indonesia, maka kata preman mengalami peyorasi.
Jadilah identik preman dan kejahatan.
Permasalahan sosial makin meluas manakala kelompok preman
tersebut mendapat ruang sosial dan politik yang luas dan di sisi lain penegakan
hukum oleh negara makin melemah. Memang terasa berlebihan jika kita sebut
negeri ini, negeri para preman. Tapi indikasi bahwa kelompok-kelompok “gelap”
yang beroperasi mengintervensi berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan
bernegara mengarah para premis, negeri ini negeri preman. APBN dan APBD seolah
menjadi bancakan bagi
kelompok-kelompok gelap tersebut.
Belakangan ini perbincangan tentang kelompok-kelompok
preman kembali mengemuka. Publik seolah disadarkan bahwa kisah mafia a la Holywood itu ada dan nyata di
negeri kita. Pertanyaannya kemudian sejauhmana kehadiran kelompok preman
tersebut berimplikasi pada tereduksinya nilai substansi dari demokrasi, yang
terus mencari bentuk idealnya di negeri kita.
Pseudo Democracy
Judul tulisan ini memang terasa terlalu dramatis, dan seolah
menisbikan pencapaian-pencapaian proses demokratisasi yang bermula sejak 1998.
Namun, jika kita mau secara kritis melihat kondisi demokrasi terkini. Maka,
kita bisa menemukan beberapa fakta yang sangat merisaukan, terutama menyangkut
keberadaan kelompok-kelompok preman di tanah air.
Pertama, dibajaknya
proses demokrasi oleh sekelompok elit. Determinasi elit yang berafiliasi dengan
kelompok preman telah dengan terang benerang menjadikan kekuasaan sebagai
sarana untuk mengumpulkan sumber daya ekonomi.
Kedua, dalam upayanya meraih kursi-kursi kekuasaan, elit
politik telah dengan sistematis menjadikan kelompok preman sebagai salah satu
‘mesin’ mobilisasi politik. Pola persuasi sekaligus intimidatif juga digunakan
untuk mobilisasi massa.
Ketiga, kolaborasi kepentingan antara kelompok preman,
elit politik dan pengusaha telah ikut menjadi kekuatan besar dalam libaralisasi
politik di negeri kita.
Kalaulah kondisi ini kita lihat sebagai sesuatu yang
alamiah dalam liberalisasi politik, maka sadar atau tidak kita tengah
mengantarkan demokrasi di negeri ini ksebagai pseudo democary (demokrasi semu). Jika ini terjadi maka demokrasi
pada akhirnya akan sangat bermuara pada kapital. Demokrasipun akan berbias
menjadi arena pertarungan modal. Lalu dimana posisi kepentingan publik ?
Kepentingan publik tentunya akan terkubur, dibalik
politik balas budi dan politik bancakan
(berbagi kue pembangunan). Pada titik inilah dengan terang benerang kita bisa
melihat bagaimana kelompok-kelompok preman bisa menjadi aktor kunci dalam
proses politik di negeri ini. Maka, tak heran jika kelompok-kelompok ini
berkembang dan terus tumbuh bak cendawan di musim hujan. Kemana mereka berpihak
? pastilah kepada siapapun yang membayar mereka. Mereka akan tampil sebagai
anjing penjaga yang setia pada siapapun yang memberi mereka makan. Demokrasipun
terancam, salah-salah negri kita karam.