Wednesday, February 20, 2013


Ketika itu lima tahun usai bencana besar, tsunami 2004. Pelan tapi pasti duka lara mulai dilupakan, memang tak pernah benar-benar bisa hilang dalam ingatan tapi Aceh telah bangkit menatap masa depan. Itulah kesan pertama ketika menjejak langkah di Aceh.

Lebih dari separuh kawasan pesisir Aceh porak poranda oleh terjangan tsunami yang menewaskan tak kurang dari 126 ribu jiwa tersebut (Sumber). Selain korban jiwa dan harta, Aceh menanggung pula kehancuran ekologis yang luar biasa, terutama ekosistem mangrove. Kawasan-kawasan pesisir Barat dan Timur Aceh hancur luluh.

Bila berjalan di pesisir Aceh, kita sesekali masih bisa menemukan akar-akar bakau yang besar. Kekuatan akar bakau itu tak mampu menghadang kekuatan dahsyat yang dimuntahkan tsunami kala itu. Adalah Pak Wahab, seorang mantan kombatan (sebutan untuk mantan pejuang Gerakan Aceh Merdeka) yang menceritakan padaku betapa lebat dan luasnya hutan bakau di sekitar gampong (kampung) mereka di Krueng Tunong, Aceh Jaya.

                              
Kami biasa menyimpan senjata di akar-akar bakau, kalau ada TNI yang datang ke gampong,” begitu kira-kira ucapan Pak Wahab padaku untuk menggambarkan betapa lebatnya bakau disana. Tsunami menyapu itu semua, nyaris tak bersisa. Ikan, udang dan hasil tangkapan lainnya makin berkurang, Pak Wahab dan kawan-kawan hidup meradang.

Sosok yang kehilangan dua orang anak dan seorang istri ketika tsunami ini tak lantas menyerah dengan keadaan, pesisir gersang pasca tsunami pelan-pelan ia tabur bibit bakau dan juga cemara laut (Casuarina equisetifolia L). Tak kurang dari sepuluh ribu  bibit ia tanam bersama kawan-kawannya di Krueng Tunong.

Bukan perkara mudah menyemai benih di tanah yang dikoyak bencana, kondisi kesuburan pesisir ketika itu memang belum pulih, tingkat keasaman tanah menjadi kendala. Belum lagi ditambah dengan ternak warga yang gemar melahap pucuk-pucuk muda casuarina.


Sempat ingin menyerah melihat realita yang ada. Beruntung Pak Wahab memiliki kawan-kawan yang selalu menyemangatinya. Belajarlah ia kebanyka  tempat, bertanya pula ia pada orang-orang dari lembaga lingkungan. Dari sana ia paham betapa penting apa yang ia lakukan. Bukan sekedar mengembalikan ikan atau udang, agar penghasilan bertambah, tapi sesungguhnya Pak Wahab sedang berinvestasi untuk masa depan bumi. Tanpa ia sadari, ia sedang ikut berkontribusi mengerem laju peningkatan emisi karbon di bumi.

Tergerak akan masa depan anak bungsunya, iapun melanjutkan menanam bakau dan cemara laut. “Kalau bukan saya yang menikmati pantai ini menghijau, paling tidak anak saya dewasa nanti bisa menikmatinya,” begitu tutur Pak Wahab, kala aku berjumpa persis saat film tentang perjuangan Pak Wahab tengah diproduksi (film tersebut bisa diliihat disini). Film yang diberi judul “Peuseulamat Pante Tanyoe” (film bisa dilihat disini : versi pendek dan versi panjang).

Berurai air mata Pak Wahab menceritakan musibah kelabu di penghujung 2004 itu, begitupun tatkala ia mengisahkan perjuangannya mencoba menghijaukan kembali pesisir mereka.          


***

Waktu berlalu, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Kini apa yang dilakukan Pak Wahab telah mulai menampakkan hasilnya. Pelan tapi pasti bakau dan cemara yang ia tanam mulai menghijau. Berdirilah dari Bukit Cot Panglima di jalan antara Banda Aceh dan Calang, maka dengan jelas kita bisa melihat hasil yang dicapai Pak Wahab dan kawan-kawan.


Pak Wahab bukanlah ahli perbakauan, atau pakar soal pesisir, ia hanya ingin pesisir kampungnya menjada hijau kembali. Ia ingin rumah dan tambak-tambak warga menjadi teduh kembali. Tak hanya menanam bakau dan cemara, Pak Wahab dan kawan-kawan juga mengubah pola mereka ber-tambak. Kini mereka menggunakan metode silvofishery yang lebih ramah lingkungan bukan lagi metode tradisional.

Kalau kita mau menimbang dari ribuan bakau dan cemara yang Pak Wahab tanam berapa besar kontribusinya pada penyerapan karbon. Kita yang sehari-hari berpergian dengan kendaraan bermotor atau yang terus menerus mengonsumsi produk yang dihasilkan industri, dimana pabrik-pabriknya menjadi penyumbang emisi karbon, maka pantas kita merasa berhutang pada sosok seperti Pak Wahab.

Di tengah makin hilangnya hutan mangrove di Indonesia, kita masih bisa berbahagia memiliki orang seperti Pak Wahab. Sosok yang memilih menanam tinimbang menebang. Sebagai ilustrasi, mari kita lihat data luas lahan mangrove nusantara dari masa ke masa, sebagai berikut.






Sumber : IN.N.Suryadiputra, dkk, 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia, 
              Wetlands International-Indonesia Programme

Data yang ada menunjukkan betapa makin besarnya degradasi dan deforestasi hutan mangrove di nusantara. sekitar 1,1 juta hektare hilang dalam dua dekade (1982-2002). Padahal hutan mangrove adalah salah satu modal kita untuk mereduksi meningkatnya emisi karbon. Kita tahu perubahan iklim telah terjadi dan dampaknya kita rasakan dari hari ke hari. Akankah kita biarkan kondisi berkurangnya hutan bakau di nusantara ? Apakah kita lebih memilih menebang dari menanam ? Apakah kita masih memilih tak peduli ? Atau kita masih beranggapan prihal perubahan iklim ini urusan negara saja ?
                                                                                          

Kalau kita masih berpikiran masih demikian, selayaknya kita malu pada Pak Wahab dan kawan-kawan. Dengan kesederhanaan dan pemikiran yang tak macam-macam, Pak Wahab memilih berbuat di tengah segala kesulitan, memilih berpikir untuk masa depan ketimbang sekedar hari sekarang. Akhirnya bencana membawa rencana, menabur bakau menuai harapan…


Notes :

Tulisan ini merupakan refleksi atas pengalaman penulis ketika menjadi communications officer untuk proyek Green Coast yang merupakan proyek rehabilitasi pesisir Aceh pasca Tsunami. Proyek ini dilaksanakan oleh Wetlands International-Indonesia Programme dan WWF-Indonesia dengan dukungan penuh dari Oxfam.

Oxfam sendiri adalah konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan.

* Penulis juga terlibat dalam pembuatan film dokumenter “Peuseulamat Pante Tanyoe” yang mengangkat profil Pak Wahab dan kawan-kawan. Penulis terlibat sebagai produser untuk film tersebut.




Keterangan foto :
1. Foto Pertama : Pak Wahab berada di pondok dekat tambaknya.
2. Foto Kedua : Putri Pak Wahab
3. Lahan yang ditanami oleh Pak Wahab, sedikit mulai menghijau
Semua foto adalah koleksi penulis.


FILM PEUSALAMAT PANTE TANYOE





0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Popular Posts