Ada semacam pameo “Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”, pameo itu yang terlintas manakala berhubungan dengan segala hal yang menyangkut pelayanan publik di negeri ini. Mulai dari urusan ‘uang pelicin’ sampai ke urusan administrasi yang berbelit. Masyarakat kebanyakan (termasuk penulis) berusaha menghindari berurusan dengan kerumitan itu, jadilah percaloan hidup subur di berbagai bidang pelayanan umum, tak terkecuali yang menyangkut listrik.
Mulai dari calo pasang baru, ada calo bayar listrik dan berbagai bentuk percaloan dalam dunia listrik tanah air. Lebih parah lagi listrik di sebagian besar nusantara byaar pet, kadang hidup kadang padam. ‘Anak ayam yang mati di atas lumbung padi’, begitulah perumpamaan energi listrik nasional. Penghasil batubara yang melimpah, bahan bakar yang tersebar dan energi-energi alternatif lainnya juga tak kalah banyak, tapi apa hendak dikata, semua hanya ada dalam angka-angka. Kehidupan nyata berkata lain, byaar pet tetap saja menggejala. Menjadi tak mudah untuk menyebut perusahaan listrik negara (PLN) sebagai lembaga yang bersih, jika merujuk pada realitas keseharian publik.
Tapi awan mendung yang menyelimuti kinerja PLN sekian lama (terutama era 90-2000an, berdasarkan pengalaman penulis) tak berarti tak bisa menjadi cerah. Bukankah habis hujan kerap datang pelangi, habis gelap terbitlah PLN, begitu plesetannya. Pelan tapi pasti PLN mulai mendapat citra positif, paling tidak di kepalaku sendiri.
Begini ceritanya….
Sekitar pertengahan 2012, lembaga tempatku bekerja bersama dengan komunitas orang rimba (Suku Anak Dalam) yang ada di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi merencanakan mendirikan sebuah radio komunitas. Niatnya radio komunitas ini diharapkan mampu menjadi semacam jembatan komunikasi antara orang rimba yang sebagian besar masih hidup di dalam hutan dengan orang luar. Fungsi yang lebih sederhana lagi, radio komunitas ini diharapkan bisa menjadi medium informasi sesameaorang rimba. Mulai dari informasi harga getah karet, sampai ke pengumuman tentang kematian dan sebagainya. Idealnya radio komunitas orang rimba ini diharap bisa menjadi ruang, “Dari, oleh dan untuk orang rimba.”
Sekedar catatan, Orang Rimba adalah suku kecil yang mendiami Jambi dan sebagian kecil Sumatera Selatan. Sebagian orang rimba masih menjadikan berburu dan meramu sebagai sarana bertahan hidup, mereka juga masih nomaden (berpindah tempat). Namun, interaksi sosial dengan pendatang membuat mereka mulai berkebun karet. Beberapa antropolog mencatat orang rimba, sebagai salah satu suku terakhir di nusantara yang masih mengembangkan ‘strategi budaya’ nomaden dalam rangka survival.
Kembali ke soal radio komunitas. Singkat cerita, radio komunitas sederhana pun didirikan, tapi masalah muncul manakala disadari tenaga listrik untuk menghidupkan beberapa alat siaran taklah memadai. Siaran ujicoba pun lebih sering ngadat ketika itu. Jika menggunakan genset tentu saja biaya menjadi berlipat-lipat karena pasokan bahan bakar minyak (BBM) yang tidak stabil dan harganya yang sangat mahal. (saat BBM masih Rp.4500/liter kami sudah membeli dengan harrga Rp.7000/liter). Tak ada pilihan selain berharap PLN mau menambah daya listrik yang sudah kami miliki. (900 watt)
Beragam keresahan membayangi kami, apalagi kami membayangkan betapa rumitnya administrasi di PLN. Alhasil, lika-liku pengurusanpun kami jalani. Awalnya semua terasa rumit, karena kami belum mengetahui prosedur resminya. Tapi setelah mendapat penjelasan dari PLN Merangin, Jambi dan juga Sarolangun, kami mulai merasa tak serumit yang kami bayangkan. Tapi, kami masih berkeyakinan tak ada yang cepat dan mudah dalam hal pelayanan umum di negeri ini.
Pelan-pelan hal itu tergerus, PLN langsung merespon permohonan kami, apalagi setelah mereka mengetahui peruntukan listrik tersebut untuk kebutuhan radio komunitas. Tak dinyana, tak lebih dari dua hari setelah kami mengurus semua administrasi, tim dari PLN kabupaten datang, padahal lokasi dari ibukota kabupaten ke lokasi kami tak kurang dari 3 jam perjalanan darat, itupun dengan jalan yang sangat buruk. Mereka melakukan semua analisa teknis, namun kendala lain membentur. Gardu terdekat dari lokasi kami, dayanya sudah habis terdistribusikan ke penduduk desa terdekat. Maka solusinya harus membangun gardu tambahan.
Pikiran tentang layanan publik yang buruk kembali melintas di pikiran kami. Ah ini hanya akal-akalan saja untuk cari duit… begitu yang terbersit. Tapi alangkah terkejutnya ketika tim teknis itu menolak pemberian uang ganti transport yang coba disodorkan pihak desa kepada mereka yang sudah jauh-jauh datang. Petugas itu berjanji akan mencari solusi, dan memberi kabar dalam waktu tak lebih dari satu minggu.
Akhirnya, tak lebih dari seminggu tim yang lebih besar datang kembali dan daya listrik di radio komunitas bertambah, siaranpun menjadi lebih lancar. Tak ada sepeserpun uang yang kami keluarkan diluar biaya resmi yang kami bayarkan di loket. Petugas lapangan menolak pemberian uang.
Wah, saya merasa bersalah terlalu memadati pikiran tentang hal buruk mengenai PLN, ternyata masa-masa gelap itu pelan tapi pasti mulai berlalu. Kini radio komunitas orang rimba telah berdiri dan mengudara dengan lancar, meski sesekali listrik padam. Tapi paling tidak mimpi tentang PLN bersih bukanlah pepesan kosong.
Mulai dari calo pasang baru, ada calo bayar listrik dan berbagai bentuk percaloan dalam dunia listrik tanah air. Lebih parah lagi listrik di sebagian besar nusantara byaar pet, kadang hidup kadang padam. ‘Anak ayam yang mati di atas lumbung padi’, begitulah perumpamaan energi listrik nasional. Penghasil batubara yang melimpah, bahan bakar yang tersebar dan energi-energi alternatif lainnya juga tak kalah banyak, tapi apa hendak dikata, semua hanya ada dalam angka-angka. Kehidupan nyata berkata lain, byaar pet tetap saja menggejala. Menjadi tak mudah untuk menyebut perusahaan listrik negara (PLN) sebagai lembaga yang bersih, jika merujuk pada realitas keseharian publik.
Tapi awan mendung yang menyelimuti kinerja PLN sekian lama (terutama era 90-2000an, berdasarkan pengalaman penulis) tak berarti tak bisa menjadi cerah. Bukankah habis hujan kerap datang pelangi, habis gelap terbitlah PLN, begitu plesetannya. Pelan tapi pasti PLN mulai mendapat citra positif, paling tidak di kepalaku sendiri.
Begini ceritanya….
Sekitar pertengahan 2012, lembaga tempatku bekerja bersama dengan komunitas orang rimba (Suku Anak Dalam) yang ada di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi merencanakan mendirikan sebuah radio komunitas. Niatnya radio komunitas ini diharapkan mampu menjadi semacam jembatan komunikasi antara orang rimba yang sebagian besar masih hidup di dalam hutan dengan orang luar. Fungsi yang lebih sederhana lagi, radio komunitas ini diharapkan bisa menjadi medium informasi sesameaorang rimba. Mulai dari informasi harga getah karet, sampai ke pengumuman tentang kematian dan sebagainya. Idealnya radio komunitas orang rimba ini diharap bisa menjadi ruang, “Dari, oleh dan untuk orang rimba.”
Sekedar catatan, Orang Rimba adalah suku kecil yang mendiami Jambi dan sebagian kecil Sumatera Selatan. Sebagian orang rimba masih menjadikan berburu dan meramu sebagai sarana bertahan hidup, mereka juga masih nomaden (berpindah tempat). Namun, interaksi sosial dengan pendatang membuat mereka mulai berkebun karet. Beberapa antropolog mencatat orang rimba, sebagai salah satu suku terakhir di nusantara yang masih mengembangkan ‘strategi budaya’ nomaden dalam rangka survival.
Kembali ke soal radio komunitas. Singkat cerita, radio komunitas sederhana pun didirikan, tapi masalah muncul manakala disadari tenaga listrik untuk menghidupkan beberapa alat siaran taklah memadai. Siaran ujicoba pun lebih sering ngadat ketika itu. Jika menggunakan genset tentu saja biaya menjadi berlipat-lipat karena pasokan bahan bakar minyak (BBM) yang tidak stabil dan harganya yang sangat mahal. (saat BBM masih Rp.4500/liter kami sudah membeli dengan harrga Rp.7000/liter). Tak ada pilihan selain berharap PLN mau menambah daya listrik yang sudah kami miliki. (900 watt)
Beragam keresahan membayangi kami, apalagi kami membayangkan betapa rumitnya administrasi di PLN. Alhasil, lika-liku pengurusanpun kami jalani. Awalnya semua terasa rumit, karena kami belum mengetahui prosedur resminya. Tapi setelah mendapat penjelasan dari PLN Merangin, Jambi dan juga Sarolangun, kami mulai merasa tak serumit yang kami bayangkan. Tapi, kami masih berkeyakinan tak ada yang cepat dan mudah dalam hal pelayanan umum di negeri ini.
Pelan-pelan hal itu tergerus, PLN langsung merespon permohonan kami, apalagi setelah mereka mengetahui peruntukan listrik tersebut untuk kebutuhan radio komunitas. Tak dinyana, tak lebih dari dua hari setelah kami mengurus semua administrasi, tim dari PLN kabupaten datang, padahal lokasi dari ibukota kabupaten ke lokasi kami tak kurang dari 3 jam perjalanan darat, itupun dengan jalan yang sangat buruk. Mereka melakukan semua analisa teknis, namun kendala lain membentur. Gardu terdekat dari lokasi kami, dayanya sudah habis terdistribusikan ke penduduk desa terdekat. Maka solusinya harus membangun gardu tambahan.
Pikiran tentang layanan publik yang buruk kembali melintas di pikiran kami. Ah ini hanya akal-akalan saja untuk cari duit… begitu yang terbersit. Tapi alangkah terkejutnya ketika tim teknis itu menolak pemberian uang ganti transport yang coba disodorkan pihak desa kepada mereka yang sudah jauh-jauh datang. Petugas itu berjanji akan mencari solusi, dan memberi kabar dalam waktu tak lebih dari satu minggu.
Akhirnya, tak lebih dari seminggu tim yang lebih besar datang kembali dan daya listrik di radio komunitas bertambah, siaranpun menjadi lebih lancar. Tak ada sepeserpun uang yang kami keluarkan diluar biaya resmi yang kami bayarkan di loket. Petugas lapangan menolak pemberian uang.
Wah, saya merasa bersalah terlalu memadati pikiran tentang hal buruk mengenai PLN, ternyata masa-masa gelap itu pelan tapi pasti mulai berlalu. Kini radio komunitas orang rimba telah berdiri dan mengudara dengan lancar, meski sesekali listrik padam. Tapi paling tidak mimpi tentang PLN bersih bukanlah pepesan kosong.
Menara siar radio komunitas orang Rimba/Foto : Huzer |