Apa Indonesia bagimu ? “Tempat yang ditakdirkan untuk saya belajar bagaimana berbeda, bagaimana bersatu, dan bagaimana untuk tak putus asa.”
(Goenawan Mohamad dalam “Pagi dan Hal-hal yang Dipungut Kembali”, 2002)
Hari-hari di republik ini sungguhlah tak mudah, terutama bagi mereka yang masih resah atas apa-apa. Sebut saja korupsi yang menggila, tak peduli perempuan atau laki, tua atau muda, dari partai biru, kuning atau merah, semua nyaris sama saja. Sebut pula bagaimana negeri ini karut marut menata sumber daya alamnya. Kalau semua harus diurut, banyak sekali hal-hal yang mengundang resah.(Goenawan Mohamad dalam “Pagi dan Hal-hal yang Dipungut Kembali”, 2002)
Kalau mau jujur, rasanya hilang akal dan selera untuk memperjuangkan hal-hal baik di sebuah negeri yang sekian lama lupa diri pemimpinnya. Tapi seperti kata Goenawan Mohamad di atas, bagaimana untuk tak putus asa. Indonesia adalah sebuah proses, ia tak pernah menemukan bentuk finalnya, demikian kira-kira.
2014, ya ini tahun yang krusial bagi negeri ini. Titik dimana kedewasaan kita sebagai rakyat diuji. Pemilihan umum (Pemilu), bagi saya tak ubahnya bagai ujian atas kedewasaan penghuni negeri. Mereka yang masih kekanak-kanakan menjadikan ini sebagai sarana mewujudkan ambisi bahkan obsesi, mereka juga berjibaku mencari upeti untuk mengisi pundi-pundi. Bagi yang berpikir dan bertindak dewasa, mengkaji peluang-peluang memperbaiki negeri.
Berharap pada kekuatan politik yang ada memang kadang membuat nyeri hati, tapi kalau kita hanya menerima suratan nasib, ya bersiap lagi untuk kecewa. Pemimpin dan kepemimpinan adalah sesuatu yang bisa dilahirkan. Sosok-sosok yang baik dan bersih sesungguhnya bertebaran di antero republik. Kadang kala hanya malu atau tak berani saja untuk tampil ke muka. Atau kadang-kadang sudah merasa skeptis atas realitas yang ada. Kalau kita-kita bisa mendorong orang-orang baik dan bervisi ini untuk tampil ke muka dan menyakinkan bahwa kita bisa berjuang bersama, saya yakin harapan akan selalu ada.
Berjuang lalu kalah tentu saja lebih baik daripada tak berbuat apa-apa.
***
Sebuah senja di akhir bulan kelima yang lalu, aku duduk di sudut ibukota menyaksikan ibu-ibu sesama pedagang bercengkerama sembari menanti pembeli. Ada seorang ibu menyebut salah satu tokoh politik, ia bercerita kalau minggu lalu suaminya mendapat bantuan modal dari pertai si tokoh. Ibu yang satu tak mau kalah ia menyebutkan kalau anaknya dapat beasiswa dari tokoh yang lain. Ibu ketiga hanya diam, seperti tak tertarik pada perbincangan.Dua ibu yang tadi terus nyerocos memuji masing-masing tokoh andalannya. Menarik rasanya melihat politik menjadi perbincangan siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Kalau ingat masa-masa sebelum 1998, ini hal langka. Setelah sekian lama bungkam, ibu ketiga angkat bicara “Kalau saya mudah saja, asal mereka tidak korupsi dan mau berjumpa dengan rakyat seperti kita, cukuplah,” ada semacam rasa menyerah dari ibu yang ketiga itu.
Mungkin si ibu ketiga sudah merasa lelah dengan perbincangan dua kawan seperjuangnnya. Tapi, kalau dirunut-runut ucapannya, itu menandakan ia masih menyimpan harapan. Ia tak mau bermuluk-muluk dengan keinginan-keinginan yang besar-besar. Ia memulai dari impian-impian sederhana tentang pemimpin harapannya.
Di sisi lain waktu, tepatnya akhir bulan tujuh yang lalu. Aku sedang mencari obyek foto yang indah di tepian Sungai Batanghari, dua orang “sopir” ketek (perahu dengan mesin tempel) yang biasa mengantarkan penumpang dari Pasar Angso Duo ke Jambi Seberang beradu cakap. Mereka saling meledek pemimpin pujaannya, yang satu ‘biru’ yang satunya ‘merah’. Macam ragam ejekan mereka peragakan. Waktu itu memang sedang masa-masa jelang pemilihan walikota di Jambi.
Setelah nyaris adu pukul, akhirnya pria yang satu berujar dengan nada ketus “Ngapo pulok kito betinju, siapo pun pemimpin kalu kito rakyat dak ikut ngawasi, paling-paling jugo koropsi,” (Mengapa pula kita berkelahi, siapapun pemimpin jika tak kita pantau, akhirnya juga akan korupsi.) Dengan nada dan logat khas Melayu, akhirnya orang itu saling menjauh.
Ucapan sopir ketek itu menyisakan semacam jejak di pikiranku. Benar juga, kalau kita hanya menuntut pemimpin yang bersih tapi kita tetap acuh, ya jangan salahkan kalau pemimpin nanti jadi mengecewakan.
Kepemimpinan politik, sejatinya representasi dari realitas publik yang diwakili. Kualitas pemimpin yang akan muncul juga ikut ditentukan oleh kita, penting untuk memahami kapasitas calon pemimpin kita. Tak sekedar menyerahkan suara hanya karena ditukar tiga lembar uang kertas merah. Atau sekedar diimingi bakal dibangunkan jalan di dekat rumah. Jika kita membangun pola transaksional dalam menentukan pemimpin, maka jangan kecewa kalau setelah jadi pemimpin, baik di eksekutif maupun legislatif mereka juga akan transaksional. Akhirnya kalkulator yang bermain, semua ramai-ramai menghitung modal politik, lantas ramai-ramai mencari modal kembali.
Untuk melahirkan pemimpin yang bersih dan tak korup, maka kita rakyat harus belajar untuk tak menjadikan suara kita sebagai komoditas. Lantas membangun pola transaksional. Ini memang nampak naif, tapi perubahan memang butuh hal-hal yang luar biasa.
***
Sketsa di atas adalah refleksi dari realitas publik kita jelang pemilu nanti. Tentu tak bisa mewakili semuanya, tapi paling tidak rakyat masih punya harapan. Menjadi sangat sulit bagi negeri ini jika kita semua sudah malas berharap dan kehilangan semangat untuk sebuah perubahan.
Permasalahannya kini, siapa yang harus memimpin ? Ini pertanyaan yang mudah tapi sulit jawabannya. Tiap kita tentu punya sudut pandang dan pertimbangan dalam menentukan siapa yang layak memimpin di negeri ini baik eksekutif maupun legislatif. Tapi paling tidak kita tahu bahwa rakyat butuh mereka yang bersih dan siap untuk terus bersih serta mereka yang mau mendengar dan merasakan denyut nadi kehidupan rakyatnya.
Pemimpin yang ada dan mengada bersama rakyat adalah impian. Mereka yang tak membangun jarak dengan rakyat, mereka yang selalu memompakan semangat untuk terus mengupayakan hal-hal baik di republik ini layak dan harus kita dukung.
Tentu saja, proses politik 2014 bukanlah perkara mudah, ia tak hitam putih, politik tetaplah politik, ia berada pada dimensi yang abu-abu. Hitam bisa tersamar dan nampak putih, putih bisa dikaburkan sehingga berkesan hitam. Semua serba abu-abu. Kuncinya adalah kecerdasan rakyat. Saya meyakini bahwa rakyat kita hari ini adalah rakyat yang cerdas, dan punya intuisi yang kuat. Maka, siapapun yang memberikan hatinya untuk negeri ini, bersih dan siap maju dalam pemilihan umum, maka akan ada jalan untuk mereka.
Sejarah membuktikan, politik di negeri ini tak selalu masalah uang atau citra. Banyak pemimpin baru yang lahir dari kerja keras dan rekam jejaknya. Lantas siapa mereka ? Tiap kita pasti sudah punya pikiran masing-masing.
Akhirnya mengutip kata-kata Goenawam Mohamad lainnya “Ditengah keculasan dan kebodohan itu, kita sering mengira sinisme kita sendiri sebagai perlawanan yang cerdas, padahal angkuh.” (GM, 2002). Politik boleh saja culas, tapi kita tak boleh kehilangan impian dan harapan atas negeri kita ini.
Tulisan ini juga saya kirimkan ke web jurnalis warga ketikketik
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.