Tuesday, January 21, 2014

  • January 21, 2014

A. Bebuka

Lan Fang, nama ini tak asing, tapi karya-karya beliau jujur saja masih terasa asing bagi saya. Saya memaksa diri untuk membaca karya terakhir beliau, sebuah novel yang pernah menjadi cerita bersambung di harian kompas, Ciuman di Bawah Hujan (CDBH).

Dengan segala hormat dan salut kepada penulis, yang kini telah berbaring damai di peristirahatan terakhirnya. Harus saya akui, saya hampir-hampir tak bisa menyelesaikan sepuluh halaman pertama novelnya. Begitu banyak ambiguitas dalam halaman-halam pertama itu. Betapa banyak pula hal yang dipaksakan. Saya sendiri bukan kritisi yang paham seluk beluk teori dan dinamika kritik sastra. Saya hanya menggunakan perangkat pengetahuan sederhana dan perasaan yang sederhana saja sebagai orang yang senang, bahkan teramat senang membaca karya sastra yang dihasilkan orang-orang Indonesia, baik mereka yang mengaku atau diakui sebagai sastrawan maupun yang bukan.

Karya-karya yang dengan tegas dan kuat menjadikan realitas keseharian baik remeh temeh, atau yang besar dan luar biasa, sangatlah membuat saya tertarik. Sastra yang hidup dan mengalir bersama realitas keseharian pembacanya selalu punya kekuatan untuk dinikmati. Maka membaca sekilas Ciuman di Bawah Hujan, membawa saya pada kesimpulan bahwa novel ini cukup kuat membawa realitas kebangsaan kita dalam alur dan penokohannya.

Hanya saja novel atau cerpen atau karya apapun yang membawa realitas kebangsaan kita sebagai latar kerap kali terjerumus dalam pusaran kegelapan, kalau meminjam istilah Sindhunata dalam Tak Enteni Keplokmu (1999) petheng dedet, gelap gulita. Bahkan kadang membawa penulis pada kondisi yang nihil. Begitu pucat masainya kah negeri kita ini ? Masing-masing kita punya cara pandang untuk menjawab pertanyaan itu. Termasuk penulis dalam novel ini, ia punya cara pandangnya sendiri.

Novel Ciuman di Bawah Hujan ini, begitu ambisiusnya membawa realitas ke-Indonesiaan kita ini ke dalam alur kisahnya. Bayangkan saja, penulis menjejalkan realitas tentang kehidupan buruh migran perempuan (Penulis novel menggunakan istilah TKW). Di awal novel saja latarnya adalah diskusi para TKW tentang cerpen yang mereka hasilkan. Acara diskusi diikuti oleh cukup banyak peserta. Mereka adalah para TKW beserta teman-temannya…(CDBH : 13), sosok Aida yang meski sekilas tapi cukup menjadi ‘jembatan’ bagi berlangsungnya kisah, yang merupakan seorang aktivis sosial yang konsen terhadap isu buruh migran. (CDBH : 23). Satu hal yang juga paling menonjol adalah novel yang ditulis oleh tokoh utama, Fung Lin. Novel yang ditulis Fung Lin mengangkat sosok Ngatinah, seorang buruh migran di Hongkong, dengan segala romantika kehidupannya.

Lalu kehidupan politik para anggota dewan perwakilan rakyat, hal ini terwakili dari dua tokoh dalam novel ini, Rafi dan Ari. Lan Fang juga menjadikan peristiwa seputar reformasi 1998 sebagai salah satu latar dalam novelnya (CDBH : 180-189, Rintik 19, ASAP) dan kehidupan warga keturunan Tionghoa yang terepresentasi dari kehidupan tokoh utama Fung Lin. Novel ini mencoba benar-benar lekat dengan berbagai realiats kebangsaan kita.

Tentu saja realitas “besar” seputar ke-Indonesian kita bisa menjadi semacam kekayaan atau kekuatan tersendiri dalam novel ini, tetapi ambisi membungkus beragam realitas ini justru bisa membuat novel terasa terlalu sarat beban. Ibarat perahu kecil yang bergerak di Sungai Kapuas dengan muatan penuh, membuat perahu serasa mau tenggelam, jadilah penumpang didalamnya selama perjalanan disesaki dengan perasaan khawatir perahu tenggelam, bukan justru menikmati tiap jengkal keindahan dan keunikan Sungai Kapuas itu sendiri.

Tapi secara umum, saya membagi realitas ke-Indonesia yang muncul dalam novel ini dalam dua hal besar; politik dan identitas. Maka dua hal tersebutlah menurut saya yang menjadi semacam bangunan dalam novel ini, sedangkan kisah asmara dan romansa cinta antar tokoh adalah cat atau penghias dari bangunan novel ini.

Oh ya, istilah bebuka sendiri saya ambil dari novel Lan Fang, pengantar novel Ciuman di Bawah Hujan ia namai bebuka, istilah yang Lan Fang dapatkan dari KH. Saifuddin Zuhri dalam pengantar bukunya “Guruku Orang-Orang Pesantren” (1974).

B. Sekilas Tentang “Ciuman Di Bawah Hujan”

Novel dengan tebal kurang lebih 356 halaman ini sesungguhnya bisa dibilang novel panjang, namun jika kita lihat lebih teliti, ketebalan novel ini ada hubungannya dengan kehadiran novel di dalam novel. Novel Ciuman di Bawah Hujan ini sesungguhnya juga memuat novel lain yang “dikarang” oleh Fung Lin, tokoh utama novel.

Secara umum novel ini beralur campuran, maju dan mundur (sesuka penulisnya) tanpa memikirkan kenyamanan pembaca, yang bisa saja berasal dari berbagai latar belakang dan kemampuan. Misal saja pada bagian awal novel, Fung Lin, sang tokoh utama tengah berada di gedung wakil rakyat.

Seumur-umur, ia tidak pernah membayangkan akan masuk ke gedung yang dinamakan kantor dewan perwakilan rakyat (CDHB :12). Lalu tiba-tiba pembaca dibawa lagi berlari ke sebuah latar diskusi cerpen yang diikuti para TKW dan membahas cerpen karya para TKW di Hongkong. Pembaca bingung sebenenarnya lokasi diskusi di Hongkong atau di Indonesia. Belum sampai tuntas kebingungan pembaca (minimal saya), tokoh utama sudah masuk ke lamunannya lagi. Sehingga alur kisah dua kali mundur. Selanjutnya tokoh utama kembali ke realitas kedua (realitas dalam lamunan).
Fung Lin di Gedung DPR

Fung Lin di lokasi diskusi cerpen

Fung Lin kecil meliput festival kebudayaan

Alur seperti ini tentu saja tak akan ada masalah bagi penulis karena ia menguasai alur dan lakon di kisah yang ia buat. Ini juga terobosan dalam alur. Karena kebiasaan umum alur maju, atau alur mundur sekali. Tapi jangan lupa, pembaca akan mengalami kebingungan, disorientasi waktu. Ini kesan pertama saya ketika membaca sekitar sepuluh halaman pertama. Kepala pusing karena disorientasi waktu.

Sepuluh Halaman Awal yang Gundah

Sepuluh halaman awal novel (dimulai dari halaman 11) terasa sekali penuh dengan fase “mencari bentuk”, alur yang masih membingungkan, tokoh yang mewujud masih pula membentuk karakternya. Ada tiga tokoh yang muncul pada fase awal ini, Fung Lin sebagai tokoh utama, Ari sang wakil rakyat yang merakyat dan Aida seorang aktivis. Aida muncul semacam ‘jembatan’ yang mempertemukan dua tokoh yang jauh lebih banyak peran dalam novel ini, Fung Lin dan Ari.

Sayangnya peran gantung Aida ini telah menciptakan ambigu, satu yang paling nampak adalah ketika, Apalagi ketika Aida berbisik, “Sssttt… dia pejabat. Kamu baik-baiklah padanya. Dia banyak uang.” (CDBH:27). Penulis secara tidak sadar telah membunuh karakter tokoh Aida. Bayangkan, ia aktivis sosial, yang harusnya independen, bervisi dan punya martabat justru dimunculkan dengan kalimat di atas. Padalah jika dilihat dalam konteks rintik (bab) 2, tidak muncul kalimat itupun tidak akan jadi masalah.

Tapi sesungguhnya apa yang ditampilkan oleh penulis bisa juga menjadi semacam cerminan realitas aktual dari kehidupan aktivis sosial kita hari ini. Sikap yang mendua dari aktivis sosial, menghujat pejabat tapi di saat yang sama menadahkan tangan. Tanpa dinyana, di halaman-halaman bagian tengah, ternyata Ari juga menjadi semacam jembatan antara Fung Lin dan Rafi. Ini tentu saja memberi efek kejut bagi pembaca, tapi di sisi lain, tokoh-tokoh ‘jembatan’ ini tak terlalu memberi warna dalam keseluruhan kisah.

Selanjutnya ambigu logika juga terjadi dari beberapa hal yang muncul di awal, mari cermati beberapa hal berikut ;

…Fung Lin baru bekerja sebulan di harian dengan oplah cukup besar (CDBH; 12)
Tapi kemudian, dalam alur mundur ketika Fung Lin berada dalam diskusi bersama TKW Fung Lin teringat peristiwa liputan yang pernah ia alami,

…Fung Lin pernah meliput acara pembukaan festival kebudayaan berskala internasional (CDBH: 17).

Dua hal ini menurut saya yang membuat pembaca awam terasa janggal, karena kontradiktif dengan logika umum. Logika umum, dalam waktu sebulan seorang wartawan pemula seharusnya berada pada fase ujicoba, tapi kemudian tergambar bahwa Fung Lin sudah meliput banyak hal. Sah-sah saja penulis punya asumsi macam-macam tentang si tokoh utamanya, termasuk asumsi bahwa di tokoh utama pernah jadi wartawan di tempat lain sebelumnya. Namun, di halaman-halam berikutnya diketahui bahwa Fung Lin baru pertama bekerja sebagai wartawan. Maka ada semacam kerancuan logika.

Belum berhenti sampai disana saja kegundahan di awal-awal novel ini. Pertemuan antara Fung Lin dan Ari juga menjadi sangat ganjil dan mengada-ada. Bayangkan Fung Lin hendak mewawancarai seorang anggota dewan dalam sebuah acara, mereka duduk bersebelahan dalam acara tersebut. Si Fung Lin yang wartawan tidak mengira di sebelahnya adalah sang wakil rakyat, karena penampilan sederhananya yang merakyat. Ini sebuah acara yang bisa di bilang semi formal, dan kebanyakan peserta adalah TKW (tenaga kerja wanita), nah ada seorang laki-laki hadir disana, di sebelahnya pula. Alangkah agak lucunya, jika insting sang wartawan tak bekerja dengan ‘keganjilan’ itu. Bukankah menarik mencoba mewawancarai seorang lelaki yang ada di tengah kumpulan banyak perempuan. Terlepas dari apakah dia pejabat itu atau bukan.

Memasuki bab kedua, yang masih saya anggap bagian awal novel, saya mulai bisa menikmati laju cerita, meski masih mengalami disorientasi waktu, tapi sudah mulai ada kenyamanan. Namun, sayang seribu sayang di tengah waktu yang tak tentu, penulis memaksa pembaca berada dalam lamunan tokoh utama akan masa kanak-kanaknya ketika menyambut presiden. Lalu di rintik ketiga muncul lagi lamunan Fung Lin bersama Anto. Ari membuat Fung Lin teringat Anto, Ari menjadi dua jembatan sekaligus, jembatan Fung Lin ke Rafi (masa depan) dan juga jembatan ke Anto (masa lalu). Ah, sungguh novel yang banyak melamun, pikirku.

Awal-awal novel ini sungguh sebuah tantangan bagi pembaca amatir seperti saya. Pembaca diharuskan memahami si penulis. Eef Saefullah Fatah, pernah menulis, jangan pikirkan apa pendapat pembaca tentang tulisanmu kelak, tentu saja itu benar untuk menyemangati penulis. Tapi kalau memang sebagai penulis tak perlu memikirkan apa kata pembacanya kelak, maka tak usah saja terbitkan tulisan kita. Pendapat di atas baik pada satu sisi tapi naïf pada sisi lain.

Pada fase awal membaca novel ini, sungguh bukan pekerjaan mudah buat saya, pembaca awam. Yang melihat sebuah karya berdasarkan perasaan nyaman atau tidak saja. Nah, novel ini sungguh tak membuat nyaman.

Tapi, saya kemudian bertanya. Pasti ada yang salah dengan saya sebagai pembaca, karena taklah mungkin harian sekaliber Kompas rela hati menerbitkan novel ini sebagai cerita bersambung jika novel ini tak istimewa, saya melanjutkan membaca walau dengan tertatih-tatih.

Tapi prasangka buruk saya mengatakan; perempuan, keturunan cina, kisah tentang politisi. Mungkin tiga hal itu yang membuat novel ini mendapat apresiasi luar biasa dari Kompas. Penulisnya perempuan, keturunan cina dan mengangkat kisah yang ada unsur kehidupan para politisinya. Di awal membaca, itulah yang terbersit. Kualitas novelnya sendiri masih belum bisa saya rasakan.

Sisi Tengah yang Mengalir

Romansa asmara lebih mendominasi pada bagian tengah novel, hubungan Fung Lin-Ari dan Fung Lin-Rafi serta Fung Lin-Anto menjadi semacam tali temali yang mengikat pembaca. Belum lagi ada percikan hubungan Fung Lin-Udin, sahabat di masa kecil, masih pula ada hubungan Fung Lin-Lie Ming. Wah, sosok Fung Lin yang nampak tak berdaya dengan segala kemarjinalannya menjadi seolah meloncati nasib manakala lima laki-laki yang luar biasa itu mampu digenggam Fung Lin.

Memang nyaris tak ada adegan seks yang berarti di novel ini, tapi melihat tali temali romansa yang melibatkan tokoh utama, Fung Lin, saya merasa adegan seksnya terbangun lebih kuat di kepala pembaca tinimbang adegan seks itu muncul secara gamblang.

Kisah yang mengalir di bagian tengah novel ini sudah sangat membuatku nyaman membacanya, tapi dengan tanpa alasan yang bisa dipahami mengapa tiba-tiba penulis memaksakan diri memasukkan novel karya Fung Lin ke dalam alur kisah. Jujur saja bagi saya ini merusak kenyamanan. Kisah Ngatinah dalam novel yang dibuat Fung Lin benar-benar terasa dipaksakan. Kalau tak mau dibilang nambah-nambahin halaman saja.

Memang ada pesan seputar kehidupan TKW dalam kisah novel dalam novel itu, ada perjuangan, ada dilema dan ada juga pencarian identitas si tokoh Ngatinah. Namun, apakah perlu menjejalkan kisah itu ke dalam novel yang sedari awal memang agak ‘kusut ini’, itu yang ada dipikiranku.

Bagian Terakhir yang Membingungkan

Novel yang nampak serba dipaksakan ini mencapai antiklimaksnya di bagian-bagian akhir. Bayangkan Fung Lin mendapat kerja di depot lumpur. Tentu dengan latar Surabaya-Sidoarjo yang dimunculkan, semua pembaca bisa mengira kemana maksdunya, lumpur Lapindo. Tapi depot yang ternyata tempat makan itu, berubah menjadi episode yang benar-benar paling tidak masuk akal bagi saya, kalau tak mau disebut teramat sangat dipaksakan. Inilah klimaks dari segala sesuatu yang dipaksakan dalam novel ini. Simak hal berikut.

Fung Lin mengkeret di balik pintu (pintu depot lumpur) Kali ini ia merasa jantungnya benar-benar berhenti berdetak. Seluruh darahnya tersirap, tersedot ketakutan. Bahkan untuk bernafaspun ia harus berhati-hati. Ia tidak mau gerombolan tikus itu tahu ia mengintip mereka. Bisa jadi nanti mereka menyerangnya beramai-ramai lalu menggerikitinya juga. (CDBH: 292)

Jarak Ketua Dinar (tikus terbesar di depot lumpur) semakin mendekati Fung Lin, Ketua Dinar mengeram halus tetapi penuh ancaman. Seringainya menampakkan taring-taring tajam. Fung Lin bukan merasa takut. Melainkan ia merasa jijik sekali. Ia harus minta tolong pada seseorang. Ia tidak mau mati sia-sia dikeritiki tikus. (CDBH :299)

Oh Tuhan, mengapa novel yang di awal dibangun dengan segala rasionalitas, kritis dan juga realistis itu tiba menjadi sangat absurd. Depot makanan diserbu sekawan tikus, dan di depot itu hanya ada Fung Lin seorang menghadapi tikus. Tentu tafsir akan simbol tikus dan depot lumpur itu bisa bermakna politis, tetapi sayangnya loncatan novel dari realis menjadi absurd telah mengusutkan kisah.

Belum berhenti disana. Fun Ling menerima hadiah sepasang hamster dari Rafi, hamster ini beranak 44 dan kemudian hamster memakan ke 44 anaknya, karena kesal Fung Lin menghidangkan dua hamster itu di kandang harimau. Matilah dua hamster itu, ia kirim email ke Rafi mengabarkan hal itu, Rafi sibuk berkampanye, ia ingin Rafi tak usah menjadi poltiisi lagi.

Atas nama “tidak menyelesaikan pun itu adalah sebuah penyelesaian” (CDBH:356), penulis memilih tidak memberi ending pada novel ini. Baiklah, itu pilihan penulis dan juga langkah kreatif. Tapi tahukah, saya seperti ingin mengutuk diri, karena telah membaca novel ini.


C. Indonesia, Identitas dan Bangsa yang Nyaris Jadi…

Salah satu kekuatan utama novel ini adalah para tokoh-tokoh dalam novel.
Tokoh Identitas Umum Unsur Politis Identitas
Fung Lin Keturunan Tionghoa kenerasi kedua, perempuan, miskin, keras kepala, pernah jadi wartawan Keturunan Cina, Perempuan, Marjinal
Ari Politisi DPRD, baik, pengertian, lembut, merakyat Pribumi, politisi
Rafi Politisi DPRD, baik, keras, merakyat Pribumi, politisi
Anto Mahasiswa, aktivis, ketua senat, baik, kaya, tidak sombong Jawa, aktivis
Lie Ming Pengusaha, Keturunan Tionghoa, Kaya, Pendiam Keturunan Cina, pengusaha
Aida Aktivis sosial, baik berkomunikasi Aktivis sosial
Udin Miskin, pencuri, suka berkelahi Marjinal, anarkis
Ngatinah TKW, Jawa TKW
Bibi Tua Perempuan Jawa, lembut, pikun, bersahaja __
Mama Keturunan Tionghoa generasi kedua, perempuan, miskin, keras kepala __
Pedagang Jeruk Miskin, keras __
Ibu Anto Kaya, istri pejabat, angkuh __

Masing-masing tokoh memiliki semacam identitas yang melekat dan ingin ditonjolkan oleh penulis. Namun diantara semua itu ada dua kelompok besar identitas yang sangat menonjol, yaitu identitas si tokoh utama, Fung Lin dan dua politisi Ari dan Rafi. Faktor identitas tentu saja menarik untuk dibahas karena penulis buku ini sendiri memiliki identitas yang khas. Lan Fang, keturunan Tionghoa, perempuan dan banyak berkegiatan sosial di Surabaya.

Penulis yang Gagal “Bersembunyi”

Bagi orang yang mengenal dekat Lan Fang, penulis novel ini. Saya sangat yakin jika tokoh dalam novel ini seperti sedang mewakili sosok penulisnya. Saya menyebut tokoh Fung Lin dan Ngatinah adalah Lan Fang dalam wujud lainnya (altar ego). Mari kita bandingkan sosok penulis dan tokohnya.

Unsur Lan Fang (penulis) Fung Lin Ngatinah
Kelamin Perempuan Perempuan Perempuan
Keturunan Tionghoa Tionghoa Jawa
Keseharian di Surabaya Surabaya-Sidoarjo Asal Jawa Timur
Hobi Tulis Menulis Impian menjadi penulis __


Cenderung ada kesamaan antara penulis dengan tokoh yang dimunculkan. Tentu saja adalah lumrah jika tokoh yang lahir sangat dipengaruhi subyektifitas dan pengalaman yang sifatnya personal dari penulis. Dalam konteks Lan Fang dan Fung Lin, bahkan dari nama saja cenderung mirip. Hanya dua huruf saja yang membedakan. Ada semacam ketaksengajaan yang sengaja. Seperti yang dikemukakan penulis di bagian bebuka novel, mengutip konsepsi Garl Gustav Jung, tentang alam bawah sadar yang mempertemukan manusia satu dengan yang lain secara “kebetulan”.

Diluar subyektifias penulis akan kisah dan tokoh-tokohnya. Saya justru menangkap, penulis sedang ingin menyuarakan sesuatu lewat kisah dan tokoh yang ada. Kalau merujuk pada pemikiran Gayatri Spivak, Lan Fang sedang menyuarakan suara subaltern, mereka yang termarjinalkan karena faktor sejarah yang direduksi, budaya yang hegemonik dan politik yang tiran (Stephen Morton:2008).

Sosok Fung Lin yang keturunan Tionghoa, perempuan dan bukan dari kalangan berada, sungguhlah tepat mewakili kelompok ini. Sebut saja kondisi Fung Lin yang selama kuliah harus naik angkot, kemudian bukan pengusaha sukses, dan hidup dalam kesulitan, termarjinalkan dalam ruang politik menjadi semacam representasi dari kelompok subaltern. Begitupun dengan sosok Ngatinah, Jawa, buruh migran, dari keluarga miskin.

Identitas Keturunan Tionghoa
Sebagaimana kita ketahui, masyarakat secara luas cenderung mengasumsikan bahwa kelompok keturunan Tionghoa adalah kelompok masyarakat yang berkemampuan, pengusaha sukses, cenderung eksklusif dan hidup bahagia karena berkecukupan. Melalui sosok Fung Lin, asumsi umum tentang keturunan Tionghoa tersebut menjadi tak terlalu tepat. Ada semacam upaya sadar dari penulis untuk meruntuhkan asumsi umum masyarakat tentang entitas keturunan Tionghoa di tanah air.

Keturunan Tionghoa bisa saja miskin, bisa saja melarat, bisa saja sangat terbuka dan inklusif. Fung Lin membuktikannya dalam novel ini. Begitupun dari kehidupan nyata sang penulis (Lan Fang) yang dikenal sangat dekat dengan para kyai di pesantren-pesantren di Jawa Timur. Menjadi semacam mentor bagi para santri yang berminat pada sastra, juga bergaul luas dengan berbagai kelompok masyarakat.

Namun, diluar bahwa Fung Lin adalah sosok yang berbeda dari kebanyakan realitas nyata di kehidupan tetapi di masa kecil, Fung Lin tetaplah hidup seperti anak-anak keturunan lainnya, terpisah dari realitas sekitarnya yang mayoritas pribumi. Hal ini bisa dilacak di rintik 21.

Dari jendela ini, ia (Fung Lin) bisa melihat lapangan yang masih berupa tanah yang terdiri dari pasir dan kerikil. Di sana banyak anak-anak bermain sepakbola dan petak umpet. Pekikan mereka nyaring dan riang sampai ke gendang telinga Fung Lin (CDBH: 199-200)
Pada halaman lain,
Fung Ling menggeleng dan menggoyangkan tangannya. Ia tidak berani. Pasti mama dan papa akan marah bila ia bermain dengan anak-anak yang belum dikenalnya. Bermain hujan, lagi. Ia pasti basah, becek, kotor dan akan sakit. (CDBH : 200)
Lalu ada juga,
Fung Lin langsung berlari ke belakang. Ia menerjang hujan. Dibiarkannya hujan membasahi seluruh tubuhnya. Ini pertama kali ia merasakan kakinya bersentuhan dengan tanah basah. Ini pertama kalinya ia merasakan ada air dari langit yang memabasahi kepalanya, rambutnya, wajahnya, dan tubuhnya. (CDBH : 202)

Petikan-petikan dalam novel ini menunjukkan bahwa di masa kecilnya, Fung Lin, terpisah dari realitas keseharian anak-anak kampung dekat ruko orang tuanya. Tetapi ia menerobos, melawan sekat yang dibangun oleh persepsi satu sama lain. Persepsi Fung Lin dan keluarganya tentang anak-anak pribumi dan persepsi anak-anak pribumi terhadap “anak Cina”.

Puncak dari segala proses crossing the border (melintas batas) yang dilakukan Fung Lin adalah ketika ia bersama Udin belajar menjadi pencuri di pasar, bukan hal besar yang mereka curi hanya sebutir jeruk (CDBH : 254-265). Tapi proses belajar mencuri ini adalah semacam puncak dari perjuangan Fung Lin untuk menjadi bagian dari pribumi. Sekaligus di saat yang sama ia mulai memilki kesadaran yang sifatnya profane¸ manakala menyadari anak pedagang jeruk yang dalam kacamatanya adalah sosok anak tak terurus dan miskin justru lebih kaya darinya. Persis saat anak tukang jeruk itu memberinya sebutir jeruk setelah ia mengembalikan jeruk hasil curiannya.

Sayang kisah yang begitu syahdu dan mengharukan ini harus dipaksa endingnya dengan masuknya sosok tikus yang diamati oleh Fung Lin. Sehingga muncul kesadaran bahwa pencuri sama dengan tikus, tak berani keluar menatap matahari. Si tikus justru merusak jalinan cerita yang sudah berlangsung secara alamiah.

…Dan tempat yang pantas untuk pencuri adalah kegelapan. Lin, kamu tidak akan pernah menemukan tikus yang berani menatap matahari…(CDBH : 276). Ah mengapa, penulis terlalu berambisi memasukkan kisah tikus ini ke dalam cerita di rintik 29.

Melalui pengalaman melintas batas ala Fung Lin di masa kecilnya, penulis seolah ingin memberi semacam tips kepada orang-orang keturunan Tionghoa untuk meloncat dari zona nyaman dan aman mereka. Selanjutnya berhenti berbuat dan berpikir hanya dengan asumsi atas realitas yang mereka lihat. Jadilah bagian dari realitas itu jangan sekedar menjadi penonton. Hanya dengan jalan itu pengakuan atas keIndonesiaan mereka bisa terjadi.

Di sisi lain, lewat Udin, penulis juga sedang memberi semacam sinyal kepada orang Indonesia yang bukan keturunan, bahwa orang keturunan bisa saja menjadi bagian yang utuh dari identitas bernama Indonesia, baik atau buruknya Indonesia ini, mereka juga berkontribusi.

Sebagaimana Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1983) menyebut Indonesia kita ini sebagai contoh paling nyata dari bangsa yang dibangun diatas imajinasi. Karena secara jelas tak ada kesamaan yang prinsipil terkait suku, ras atau agama yang bisa menyatukan nusantara menjadi Indonesia. Oleh karena itu proses menjadi Indonesia adalah proses dinamis, selalu bergolak dan pasang surut.

Begitupun proses pembauran antara keturunan Tionghoa dan pribumi. Lan Fang lewat novel ini mencoba memberi sentuhan pada proses pembauran itu. Pembauran yang alamiah yang terjadi pada kanak-kanak jauh lebih kekal dibanding dengan pembauran yang seremonial, misalnya lewat organisasi formal atau sejenisnya. Keberanian melintas batas, meloncat dari zona nyaman, keberanian untuk menjadi bagian adalah kunci pembauran tersebut.

D. Politik Indonesia Antara Kutukan dan Harapan 

Aroma politik memang kental terasa dalam novel ini, dua tokoh dalam novel adalah “pemain” politik, Ari dan Rafi adalah wakil rakyat, ditambah lagi dengan Anto yang merupakan aktivis kampus. Di sisi lain, dinamika politik lokal Jawa Timur juga ikut memengaruhi novel. Istilah depot lumpur, kemudia episode kisah absurd tentang tikus-tikus besar di depot lumpur serta berbagai keluh kesah tentang para politisi menjadi teorema kisah Ciuman di Bawah Hujan ini.

Tentu novel ini bukan novel politik, apalagi novel biografi politik, tapi mmebaca novel ini seperti membaca realitas politik keseharian yang kita sering baca di koran-koran atau saksikan di televisi. Novel ini merekam hal itu, tetapi dalam bentuk yang lebih dekat, personal dan intim.

Imajinasi Politik Orang Kebanyakan

Keluh kesah dan kebencian pada para politisi dan perilaku politik elit bertubi-tubi-tubi muncul dalam novel ini. Hampir tak ada bab yang tak berisi keluh kesah politik. Mari kita simak beberapa kegeraman penulis pada para politisi dan perilaku mereka.

Fung Lin tidak pernah tahu dimana orang-orang (wakil rakyat) itu bisa ditemui? Atau seperti apakah orang-orang yang dinamakan wakil rakyat itu … (CDBH:12)

Tetapi apakah orang itu –pejabat itu—mempunyai kepedulian untuk menyelesaikan permasalahn yang muncul di masyarakat ? (CDBH:15)

…di mana-mana wajib hukumnya bila para hadirin menunggu pejabat. Karena sebelum pejabat datang maka acara tidak akan dimulai. (CDBH :16)

Pejabat koq suka terlambat? Masak untuk mengatur waktu saja tidak bisa? Bagaimana dia bisa mengatur rakyat? CDBH: 23)

Setiap hari masih saja ada berita pungutan liar oleh pejabat, juga ada berita penyimpangan dana bantuan…. (CDBH : 330)

Ada seratus satu lagi nukilan dalam novel ini yang mencerminkan betapa geram dan kesalnya penulis pada realitas politik di negeri kita. Tapi pada akhirnya, seperti kebanyakan kita, menghabiskan waktu dalam kegeraman dan kehilangan energi untuk mengumpat. Hingga kita lupa bagaimana berbuat, kesimpulan akhirnya Fung Lin, ingin Rafi berhenti dari politik dan menjadi orang biasa saja.

Oh, alangkah sayangnya segala gejolak dalam novel ini seolah menjadi anti klimaks manakala sosok yang dianggap sangat baik dan lurus oleh Fung Lin, tak ia relakan untuk terus berpolitik. Ini semacam mengamini opini kebanyakan, kalau ingin tenang dan damai jangan masuk ke dunia politik. Politik itu kotor. Jika orang-orang bersih dan berhati nurani tak ada yang berani berjibaku di ranah politik praktis, jangan salahkan jika politik di negeri kita makin kacau balau.

Konstruksi berpikir ala Fung Lin yang ditawarkan oleh penulis, sama sekali tak memberi terobosan berarti dalam upaya bersama memperbaiki realitas politik tanah air. Orang-orang baik seolah didorong untuk selalu berada di menara gading yang terpisah dari realitas keseharian. Cara merebut kekuasaan dan untuk apa kekuasaan adalah realitas yang harus digauli, bukan sekedar ditonton. “Orang-orang baik” harus berani menjadi pemain bukan penonton yang sekedar berkomentar sumbang.

Tapi dibalik segala pucat masai realitas politik keseharian bangsa kita yang ditampilkan dalam novel ini, penulis tidak kemudian menampilkan antipati pada politik. Ia justru mencoba tetap optimis, bahwa dibalik gelap gulitanya kondisi elit politik kita, masih terselip satu dua orang-orang baik, yang berjibaku. Meski pada akhirnya orang-orang baik itu berada pada titik yang begitu rentan dan cenderung bisa hanyut bahkan hancur kapanpun.

Hal ini juga bagian dari imajinasi politik kebanyakan orang di republik ini. Orang-orang baik yang berada di kubangan lumpur, maka ia akan ikut berlumpur, atau paling tidak bernoda

***
Sampai menamatkan dan membaca berulang kali Ciuman di Bawah Hujan ini, saya belum menemukan alasan mengapa Kompas layak mengangkatnya sebagai cerita bersambung. Dugaan saya masih sama; pengarangnya keturunan Tionghoa, perempuan pula, dan yang ditulis romansa politik.
Novel yang begitu sarat beban ini, memang tak sampai membuat perahu yang membawanya tenggelam, tapi sekali lagi ibarat perahu yang mengarungi Sungai Kapuas di Kalimantan sana (Lan Fang juga lahir di Kalimantan), muatan perahu begitu sarat, hingga nyaris tenggelam. Penumpang perahu memang tak sampai tenggelam, tapi sepanjang perjalanan ia berada dalam kekhawatiran perahu akan tenggelam, sehingga keindahan dan keunikan Sungai Kapuas itu sendiri menjadi terabaikan untuk dinikmati. Perumpamaan itu menjadi semacam perumpamaan yang tepat bagi novel ini, setidaknya tepat menurut saya. 

Kursus menulis ya disini...


BAHAN BACAAN

Anderson, Bennedit.2012. Imagined Communities : Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Fang, Lan. 2010. Ciuman Di Bawah Hujan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fromm, Erich. 2007. Cinta, Seksualitas dan Matriarki. Yogyakarta : Jalasutra.
Morton, Stephen. 2008. Gayatri Spivak :Etika, Subaltern dan Kritik Penalaran Poskolonial. Yogyakarta: Pararaton Press.
Purnama, Puji. 2010. Analisis Gagasan Lan Fang Dalam Ciuman di Bawah Hujan (makalah).





Popular Posts