"Bangsa itu adalah hasil historis yang ditimbulkan deretan kejadian yang semua menuju ke satu arah. Setelah menguraikan masalah ras, bahasa, agama, persekutuan kepentingan bersama, keadaan alam, Renant menyimpulkan, bangsa itu merupakan keinginan untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble)." Demikianlah Prof. Sunario Sastrowardoyo mengutip Ernest Renant mengawali pidatonya dalam kongres Pemuda 1928.
Secara umum semangat persatuan yang begitu menonjol dari hasil kongres pemuda ini, mengental dalam memori kolektif bangsa ini. Banyak diantara kita mungkin belum tahu bahwa tiga tahun sebelum sumpah pemuda, para pemuda Indonesia juga telah merumuskan sebuah manifesto politik 1925 (selanjutnya saya singkat MP 1925) yang dikeluarkan di Belanda oleh pemuda Indonesia dalam perhimpunan Indonesia di negeri Belanda saat itu. Tentu saja MP 1925 juga ikut memberi landasan bagi kongres pemuda 1928 yang melahirkan sumpah pemuda.
MP 1925 menurut Prof. Sartono Kartodirdjo lebih fundamental dari Sumpah Pemuda 1928 (Kompas, 28 Oktober 2002). Hal ini dikarenakan tiga prinsip dasar dalam manifesto politik 1925 lebih komperhensif dalam melihat permasalahan bangsa saat itu. MP 1925 pada intinya berisi prinsip perjuangan yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan) sedangkan sumpah pemuda hanya menonjolkan aspek persatuan semata.
Pantas rasanya jika hari ini disaat kondisi bangsa belumlah mencapai formulasi terbaik bagi terciptanya demokrasi, persamaan hak dan kemerdekaan bagi rakyat dalam berpolitik, ekonomi dan budaya. Kita membincang ulang semangat MP 1925 yang notabene merupakan hasil gagasan pemuda-pemuda terbaik bangsa ketika itu. Antara lain Mohammad Hatta dan Sunario.
Prinsip persatuan, kesetaraan dan kemerdekaan sebenarnya secara cemerlang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini dalam lima sila (pancasila) sebagai konstruksi atas ide-ide dasar bangsa. Namun permasalahannya, telahkan ketiga nilai dasar itu menemukan bentuknya dalam kehidupan kita sebagai sebuah bangsa ?
Mencoba memahami realitas sosial yang terjadi di Indonesia hari ini, ada beberapa indikasi bahwa spirit perjuangan dalam MP 1925 masih sangat relevan dijadikan sandaran dalam mengatasi berbagai problematika yang dihadapi bangsa. Pertama, persatuan (unity) telah hadir sebagai social bond dalam masyarakat kita. Tak dapat dibayangkan jika heterogenitas yang dimiliki bangsa kita tanpa persatuan tentulah akan menghasilkan konflik berkepanjangan.
Namun, persatuan yang hadir baru sebatas solidaritas kebangsaan, padahal kita membutuhkan lebih dari itu. Mengapa ? karena diakui atau tidak secara ekonomi dan budaya bangsa kita masih menjadi bangsa terjajah. Bayangkan jumlah hutang luar negeri kita menurut laporan Bank Dunia berjumlah sekitar 130 milyar dollar AS pada 2003. Kondisi ini belum termasuk pinjaman lunak pasca Tsunami 2004 di Aceh dan juga gempa bumi di Jogjakarta. Dengan perincian hutang dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Table Hutang Luar Negeri Indonesia
(data bulan September 2003, dalam jutaan dolar Amerika Serikat)
Jumlah Total Hutang Luar Negeri 132.762 milyar
Pemerintah 77.093 milyar
- bilateral 28.492 milyar
- multilateral 28.394 milyar
- kredit ekspor 17.539 milyar
- leasing 0.325 milyar
- Komersial 2.343 milyar
Sektor Swasta 53.597 milyar
Sumber : Diolah dari situs Bank Dunia (www.worldbank.org)
Kondisi ini secara umum telah memberikan peluang kepada banyak pihak, khususnya negara ataupun institusi pemberi hutang untuk mengintervensi kedaulatan ekonomi bahkan kedaulatan politik Indonesia sebagai negara berdaulat. Maka bercermin dari semangat MP 1925, sebagai bangsa kita harus memperjuangkan kemerdekaan dari hutang luar negeri.
Sebagai sebuah kolektifitas, persatuan kita harus lebih dari sekedar solidaritas budaya tapi harus mewujud dalam solidaritas perjuangan kebangsaan. Kita harus berani menegaskan posisi kita dalam konteks hutang luar negeri ini. Hutang yang hari ini menjadi beban bangsa kita secara historis juga disebabkan oleh “pembodohan” yang dilakukan oleh pemberi hutang (meski tidak semuanya). Mengapa demikian ? karena mengutip pendapat Richard Lombardi dalam tulisan berjudul Debt Trap : Rethingking the Logic of Development (Southern Economic Journal vol. 53 No. 3 tahun 1987) ada kecenderungan bahwa hutang yang diberikan negara atau institusi donor pada dasarnya merupakan jebakan agar bisa mengontrol pengambilan kebijakan ekonomi dan juga politik di negara yang diberi pinjaman.
Belum lagi jika mau menghitung “hutang” sejarah dan hutang lingkungan (eco debt) negara dunia pertama terhadap bangsa kita, tentu angka hutang kita saat ini tidaklah sebanding. Maka berbekal spirit persatuan dan kemerdekaan, kita sebagai bangsa berhak menolak membayar hutang tersebut bukan mengemis untuk dihapuskan hutang. Meski demikian tentu segala konsekuensi dari keputusan kolektif ini harus pula dipertimbangkan.
Kedua, persamaan (equality). Berefleksi dari MP 1925 sudahkah kita dengan sungguh-sungguh merealisasikan semangat ini dalam kehidupan politik, sosial, budaya dan ekonomi di Republik ini. Sudahkah pelayanan publik bersifat equal antara bupati dan penarik becak, telahkah akses pendidikan sama terbukanya antara masyarakat di pedalaman Sumatera dengan yang ada di kota-kota di Pulau Jawa. Telahkah pula pelayanan kesehatan sama rata, kemudian akses untuk mendapatkan pekerjaan telah merata. Jika sebagian besar atau bahkan semua jawaban atas pertanyaan di atas adalah belum. Sepatutnya kita mencoba mencari alternatif pemecahan.
Prinsip persamaan, kemerdekaan dan persatuan dalam MP 1925 tentu memperkenankan kita untuk mendiskusikan kembali bentuk negara kita. Karena berdasarkan fakta mengenai distribusi kesejahteraan, akses pelayanan publik dan sebagainya, pantas rasanya jika bentuk negara federal atau bentuk lainnya masuk dalam wacana alternatif memecah kebuntuan mengenai distribusi kesejahteraan dan akses bagi semua penduduk Indonesia. Ini sekedar tawaran, untuk menghidupkan diskusi kebangsaan dengan semangat tiga prinsip MP 1925. Semoga berguna dalam kita memaknai 78 tahun sumpah pemuda.